Senin, 29 Juni 2015

HIKMAH

 Hikmah Sufi di Bulan Suci

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas,bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahayaAllah).
Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang berbuat kebajikan.
Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.
Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa: Puasa Hakiki.
Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa Tuqaatih”, takwa yang hakiki.
Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan, sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”, bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.
Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, - dalam Hadits Qudsi - “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng, manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang memakinya, katakanlah :
“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “
Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)
Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk berpaling pada selain Allah.
Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “
Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan, Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah dalam lembah bulan suci ini.
Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa, sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin, sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam jiwanya.
Dalam tradisi Rasulullah SAW, bulan puasa merupakan bulan ubudiyah. Jika siang hari beliau menahan dari dari segala hal selain Allah, maka di malam hari beliau melakukan Qiyamul Lail, yang kelak disebut dengan tarawih, sebagai upaya bangkit dalam ma ‘rifatulla
Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:
Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).
Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.
Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.
Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).
Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.


Mereka yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar).


MAKNA SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Menurut Imam al-Ghazali sabar adalah keteguhan yang dapat mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.Sabar merupakan kecenderungan hati pada unsur kemalaikatan dalam diri dan mampu melawan dorongan-dorongan nafsu kebinatangan dan nafsu birahi.Seperti malaikat yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Mereka bertasbih menyucikan Allah SWT sepanjang siang dan malam tiada henti.
Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.
Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan¬-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.
Ditinjau dari kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
1) Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus¬-menerus.
2) Tingakatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan peperangan. Dalam peperangan itu, kemenangan silih berganti. Adakalanya dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. Indikasinya dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak dapat mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin pada suatu waktu ia mampu mengalahkan dan menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan akhirnya kalah.
3) Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. Sehingga ia menjadi tawanannya hawa nafsu.
Sebagai manusia, kita memerlukan sifat dan sikap sabar dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, la sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, la akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa nafsu. Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para shahabat berkata, "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar."
Menurut Imam al-Ghazalî bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:
1) Sabar dalam taat.
Nafsu sering bertentangan dengan ketaatan, seperti rasa malas dalam shalat, sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit. Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: pertama, mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran¬-kotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua, ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, setelah melaksanakan ibadah, la hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang lain (sum'ah). Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.
2) Sabar terhadap maksiat.
Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan. Jika keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar. Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

3) Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun
dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.
Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah. Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi.
--Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali--



MATI SEBELUM MATI   

MENURUT SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI



Mati Sebelum Mati, Mutlak Diperlukan bagi Salik yang Mau Menempuh Jalan Tuhan. 
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai hamba Allah, sadarilah bahwa engkau hanya sebatas diberi harapan. Maka, jauhilah segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla dengan kalbumu sehingga engkau dapat dekat kepada-Nya. Matilah engkau sebelum mati. Matilah engkau dari dirimu dan makhluk. Sungguh telah diangkat berbagai hijab dari dirimu dan Allah Azza wa Jalla.”

Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mati?” Lalu beliau menjawab, “Matilah dari mengikuti kemauan, hawa nafsu, tabiat dan kebiasaan burukmu, serta matilah dari mengikuti makhluk dan dari berbagai sebab. Tinggalkanlah persekutuan dengan mereka dan berharaplah hanya kepada Allah, tidak selain-Nya. Hendaklah engkau menjadikan seluruh amalmu hanya karena Allah Azza wa Jalla dan tidak mengharap nikmat-Nya.

Hendaklah engkau bersikap ridha atas pengaturan, qadha dan tindakan-Nya. Jika engkau melakukan hal yang demikian, maka hidup dan matimu akan bersama-Nya. Kalbumu akan menjadi tentram. Dialah yang membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Kalbumu akan selalu menjadi dekat kepada-Nya, selalu terhubung dan bergantung kepada-Nya. Engkau akan selalu mengingat-Nya dan melupakan segala perkara selain Diri-Nya.
Kunci surga adalah ucapan La ilâha illa Allâh, Muhammadur-Rasûlullâh. Sedangkan esok,, kunci surga adalah kefanaan dari dirimu, orang lain, dan segala sesuatu selain Allah, dan dengan selalu menjaga batas-batas syariat.

Kedekatan kepada Allah adalah surga bagi manusia, sedangkan jauh dari Allah adalah neraka untuk mereka. Alangkah indah keadaan seorang Mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Di dunia dia tidak berkeluh-kesah atas keadaaan yang dia alami, setalah dia memahami bahwa Allah meridhainya, dimana pun dia berada cukuplah bagiannya dan ridha dengan bagian itu. Kemanapun dia menghadapkan wajahnya, dia memandang dengan cahaya Allah. Setiap isyaratnya adalah kepada-Nya. Setiap kebergantungan adalah kepada-Nya. Setiap tawakalnya adalah hanya kepada-Nya.

Berhati-hatilah, jika ada seorang di antara engkau merasa bergembira berlebihan karena telah melakukan ketaatan, karena boleh jadi ada rasa takjub ketika dilihat orang lain atau berharap pujiannya. Barangsiapa di antaramu ingin menyembah Allah, hendaklah memisahkan diri dari makhluk. Sebab, perhatian makhluk pada amal-amal mereka dapat merusaknya. Nabi SAW bersabda, “Engkau mesti ber-uzlah, sebab uzlah adalah ibadah dan bentuk kesungguhan orang-orang shaleh sebelum kalian.”

Engkau mesti beriman, lalu yaqin dan fana dalam wujud Allah, bukan dalam dirimu atau orang lain. Dan, tetaplah menjaga batas-batas syariat dan meridhai Rasulullah SAW. Tidak ada karamah bagi orang yang mengatakan sesuatu selain hal ini. Karena, inilah yang terjadi dalam berbagai shuhuf dan lawh kalam Allah Azza wa Jalla.

Engkau harus selalu bersama Allah; memutuskan diri untuk selalu dengan-Nya; dan bergantung kepada-Nya. Hal demikian akan mencukupkan dirimu dengan pertolongan (ma’unah) di dunia dan akhirat. Dia akan menjagamu dalam kematian dan kehidupan, menjagamu dalam setiap keadaan. Engkau harus memisahkan yang hitam dari yang putih!”
--Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar