Sabtu, 20 Juni 2015

Renungan Puasa


Ketauhilah, bahwa setiap ibadah yang kita lakukan, namun tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan kebersihan jiwa, berarti ibadah tersebut telah terkontaminasi. Bisa jadi termasuki kotoran riya, tujuan duniawi, atau kotoran ilmu yang salah dalam memandang sebuah ibadah dan yang semisalnya.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
“Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki kotoran (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki kotoran” (Al-Fawaid).
Lihatlah hakikat, jangan tertipu dengan lahiriyah suatu amal!
Dari penjelasan di atas, mari kita intropeksi diri, bagimanakah ibadah-ibadah yang selama ini kita lakukan? Apakah terpenuhi kriteria ibadah yang diterima oleh Allah? Ataukah justru ibadah-ibadah yang kita lakukan selama ini, banyak yang sekedar aktifitas lahiriyyah tanpa ada ruhnya? Jika memang demikian, tidakkah kita malu mempersembahkan kepada Rabb kita sesuatu tanpa ruh, ibarat bangkai tak bernyawa?
Apakah selama ini kita benar-benar telah perhatian terhadap hakikat peribadatan ataukah dalam mengerjakan ibadah masih lebih banyak perhatian kepada lahiriyyah suatu ibadah; asal sah ibadah tersebut atau asal gugur kewajiban ibadah tersebut?
Perhatikan beberapa nukilan berikut ini yang menggambarkan bahwa para ulama dari dulu sangat perhatian terhadap hakikat suatu amal!
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam  kitabnya Al-Ubudiyyah menyatakan,
فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر
“(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat (sesuatu),tidak terjebak dengan lahirnya”
Demikian pula Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
رب قائم حظه من قيامه السهر، كم من قائم محروم و من نائم مرحوم، هذا نام و قلبه ذاكر و هذا قام و قلبه فاجر
“Bisa jadi orang yang shalat malam, namun hanya mendapatkan begadang saja (tidak dapat pahala). (Ingatlah) berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak dirahmati (oleh Allah), sedangkan yang tidur justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang kedua memang lahirnya (yang nampak) tidur, namun hatinya ingat Allah (bertakwa), adapun orang yang pertama memang zhahirnya shalat malam, namun sayangnya hatinya menyimpan maksiat”
Beliau juga berkata,
كم من مستغفر ممقوت و ساكت مرحوم ، هذا استغفر و قلبه فاجر و هذا سكت و قلبه ذاكر

“(Ingatlah)berapa banyak orang yang lisannya istighfar,namun dibenci (oleh Allah),sedangkan orang yang lisannya diam,malah justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang pertama ini lisannya memang istighfar, namun hatinya menyimpan maksiat, adapun orang yang kedua, lisannya diam,namun hatinya ingat Allah (bertakwa)” (Lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab rahimahullah).


Sambutlah Misi Bulan Ramadhan
ADA dua dimensi yang selalu menyertai tasyri’ (Proses lahirnya hukum Islam) dalam al-Qur’an, yaitu dimensi teologis dan sosiologis. Kedua dimensi ini harus kita fahami secara utuh, sehingga dengan memahami kedua dimensi historis tersebut maka setiap syariat dalam Islam tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai ‘ruh’ yang akan selalu hadir dalam setiap fase kehidupan sosial umat Islam.
Secara historis, kelahiran hukum Islam, tidak dapat dilepaskan dari masalah sosial masyarakat yang saat itu terjadi, atau adanya penyimpangan dalam pelaksanaan syariat nabi sebelum nabi Muhamma saw. Maka atas dasar itulah Allah swt. menurunkan syariat kepada nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul yang membawa syariat baru atau meluruskan penyimpangan pelaksanaan syariat nabi sebelumnya.
Seperti contoh, lahirnya syariat zakat secara teologis adalah upaya untuk membersihkan harta yang merupakan rizki atas karunia yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya maka waktu, kadar serta jenis harta yang wajib dizakati sudah ditentukan mekanismenya oleh Allah dan Rasul-Nya dalam hukum syara’.
Aspek sosiologis yang hendak diraih melalui zakat ini adalah lahirnya rasa empati dan kepekaan sosial antara kaya dan miskin. Serta untuk mengikis sifat ketamakan yang dimiliki oleh manusia akibat kecintaan terhadap harta yang pada hakikatnya bukan milinya tapi titipan Allah swt. hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Taubah[9]:103, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, sesungguhnay do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Juga dalam surat al-Ma’arij[70]: 24-25. “dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta.” Jika syariat zakat dilaksanakan setiap tahun, namun kesenjangan sosial dan kemiskinan masih saja terlihat secara nyata, hal ini menunjukkan bahwa zakat belum memperlihatkan jati diri yang sesungguhnya sebagai pembersih harta dan penyuci jika dari sifat kikir dan tamak yang ada dalam diri manusia.
Demikian pula tak jauh berbeda keadaannya dengan shalat, secara teologis shalat sebagai upaya untuk mengingat Allah swt. namun dimensi lain shalat juga merupakan cara untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Sebagaimana Allah swt tegaskan dalam al-Qur’an surat Toha[20]:14, “sungguh Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku.” Kemudian secara sosiologis Allah tegaskan al-Qur’an al-Ankabut[29]:45, “… sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar…” jika ada orang yang melaksanakan shalat, namun perbuatan keji dan munkar masih ada dalam pribadi dan lingkungan masyarakat, maka esensi tujuan shalat belum diraih secara maksimal sesuai dengan tujuan hukum yang hendak diwujudkan berdasarkan al-Qur’an.
Puasa Ramadhan juga pada awal disyariatkannya tidak lepas dari dimensi sosial yang hendak diraih yaitu ketaatan dan kepatuhan seorang pemeluk agama terhadap perintah Allah dan Rasulnnya secara total tanpa syarat apapun. Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa puasa ramadhan diperintahkan kembali kepada umat nabi muhammad saw. karena umat terdahulu selalu saja setiap kali kewajiban puasa akan dilaksanakan, mereka mencela dan melakukan banyak permintaan dan pilihan sebagai wujud protes atas kewajiban tersebut.
Seperti contoh, umat sebelum Nabi Muhammad SAW, ketika diwajibkan puasa pada musim panas, mereka keberatan dan minta ditangguhkan pada musim dingin. Kemudian ketika musim dingin tiba, mereka juga malah minta ditangguhkan kembali pada musim semi dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Begitupun ketika Allah mewajibkan selama tiga puluh hari puasa, mereka malah meminta lebih lama lagi dari waktu yang sudah ditentukan.
Begitulah kurang lebih gambaran sosiologis kadar keimanan umat sebelum kita, sehingga ketaatan menjadi pesan utama dibalik syariat kewajiban puasa kepada orang yang beriman agar meraih predikat takwa.
Kehadiran puasa Ramadhan akan terasa hampa jika kaum muslimin tidak menempatkan puasa ramadhan sebagai pendidikan yang memiliki dimensi teologis dan sosiologis. Atas kondisi demikian, sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mengahadirkan kembali ‘ruh’ puasa Ramadhan dalam dimensi sosial masyarakat sebagai solusi menyuluruh atas permasalah bangsa yang sedang kita hadapi saat ini.
Sikap pengabaian terhadap paradigma di atas hanya akan melahirkan ibadah yang hampa akan nilai, alih-alih dapat mencegah kemunkaran yang merebak di tengah-tengah masyarakat, yang ada kemunkaran dalam dirinya saja nyaris tak tersetuh oleh ibadahnya. “shalat terus maksiat jalan” itulah stigma negatif yang mewakili hampir setiap ibadah yang dilakukan kaum muslimin saat ini ditengah tengah kemaksiatana merajalela dimana-mana.
Kehadiran puasa Ramadhan seakan menjadi puasa ‘seremonial’ tahunan saja yang tak ada bedanya dengan pergantian musim yang silih berganti hadir setiap tahun tanpa membawa makna dan perubahan yang berarti bagi kehidupan bangsa ini. Kondisi inilah yang paling dikhawatirkan oleh baginda kita menimpa umat akhir zaman sebagaimana sabda beliau,
كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش
“Betapa banyak orang yang puasa, tapi tidak ada nilai yang diraih kecuali lapar dan dahaga.”(HR. Ibnu Majah)
Maka agar puasa ramadhan tahun ini sangat berarti bagi kita semua, dan berdampak bagi perubahan sosial, mari kita maknai kehadiran ramadhan tahun ini dengan mewujudkan misi ini. []
Keutamaan Mengkhatamkan Al-Quran Di Bulan Ramadhan

BULAN Ramadhan adalah bulan yang mulia dan banyak berkahnya. Setiap muslim pasti sering mendengar bahwa bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Quran. Karena memang sangat banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini. Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” QS. (Al Baqarah : 185)
Sedangkan keutamaan membaca Al-Quran sangat banyak dijelaskan, salah satunya adalah Sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan “alif lam mim” satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf” ( HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
Begitu juga Sabda beliau,
مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ
“Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam” ( HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468)
Keutamaan mengkhatamkan Al-Quran di Bulan Ramadhan
Hal Ini dicontohkan langsung oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أن جبريل كان يعْرضُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعرضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فيه
 “Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam setiap tahun sekali (pada bulan ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alayi wasallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau sebanyak dua kali (untuk mengokohkan dan memantapkannya)” ( HR. Bukhari no. 4614)
Ibnu Atsir rahimahullah menjelaskan,
أي كان يدارسه جميع ما نزل من القرآن
“yaitu mempelajari (mudarasah) semua ayat Al-Quran yang turun” ( Al-Jami’ fi Gharib Hadits, 4/64).
Hendaknya shalat Tarawih mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan
Praktek shalat tawarih dengan target mengkhatamkan Al-Quran selama bulan Ramadhan adalah perbuatan yang sangat baik. Satu malam shalat tarawih yang di baca satu juz. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ويمكن أن يفهم من ذلك أن قراءة القرآن كاملة من الإمام على الجماعة في رمضان نوع من هذه المدارسة، لأن في هذا إفادة لهم عن جميع القرآن، ولهذا كان الإمام أحمد رحمه الله يحب ممن يؤمهم أن يختم بهم القرآن، وهذا من جنس عمل السلف في محبة سماع القرآن كله، ولكن ليس هذا موجبا لأن يعجل ولا يتأنى في قراءته، ولا يتحرى الخشوع والطمأنينة، بل تحري هذه الأمور أولى من مراعاة الختمة
“dipahami dari (hadits) tersebut, bahwa Imam membaca Al-Quran seluruhnya (sampai khatam) bersama jamaah pada Bulan Ramadhan termasuk dalam mudarasah ini (yaitu mudarasah Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam bersama malaikat Jibril alaihissalam). Oleh karena itu Imam Ahmad rahimahullah suka terhadap Imam yang mengkhatamkan Al-Quran. Ini merupakan amal para salaf yaitu mendengarkan Al-Quran seluruhnya.
Akan tetapi hal ini bukan kewajiban, agar supaya bersegera dan tidak membaca secara perlahan-lahan. Ia tidak mencari kekhusyu’an dan tuma’ninah. Bahkan mencari hal ini (khusyu’ dan tuma’ninah) lebih utama daripada perhatian terhadap mengkhatamkan” (Majmu’ Fatawa bin Baz 15/324, Asy Syamilah)
Dan mengkhatamkan Al-Quran selama bulan Ramadhan bukanlah kewajiban, syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
ختم القرآن في رمضان للصائم ليس بأمر واجب ، ولكن ينبغي للإنسان في رمضان أن يكثر من قراءة القرآن
“Mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa bukanlah perkara yang wajib. Akan tetapi sebaiknya seseorang memperbanyak membaca Al-Quran di bulan Ramadhan” (Majmu’ Fatawa wa Rasail 20/516)


UMROH GRATIS sepanjang masa.
Caranya???
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta’ala sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti pahala berhaji dan ‘umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
Hadits yang sangat luar biasa. Betapa untuk 'haji' dan 'umroh' begitu mudah, murah (gratis malah), dan bisa dilakukan siapa saja.
SYARATNYA:
1- Sholat shubuh berjmaaah di masjid/mushola
2- Tetap berdiam di masjid dengan berdzikir setelah sholat shubuh. Dzikir bisa berupa: bacaan dzikir/wirid matsurot, membaca Al-Quran, mengkaji Al-Quran, ta'lim.
3- Hingga masuk waktu SYURUQ atau waktu terbit matahari, kapan? Jadwal waktu syuruq biasanya tercantum di Jadwal Sholat. Kalau tidak ada bisa pakai aplikasi android "Jadwal Sholat".
4- Setelah masuk waktu SYURUQ jangan langsung sholat, tunggu sekitar 15 menit, karena pas waktu SYURUQ dilarang sholat.
‘Aisyah radhiyallåhu ‘anha berkata:
حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّاعَةُ الَّتِي تُكْرَهُ فِيهَا الصَّلَاةُ قَامُوا يُصَلُّونَ
“…(Mereka duduk) hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka mendirikan shalat” (Diriwayatkan Imam al Bukhaariy dalam shahiihnya)
5- Setelah 15 menit dari waktu SYURUQ maka kerjakan sholat sunah dua rokaat. Sholat sunah apa? itulah yang disebut sholat sunah syuruq/isyroq dan itu sama dengan sholat Dhuha. Jadi Anda sudah terhitung sholat Dhuha.
Lantas apakah wanita yang shalat di rumah bisa mendapatkan keutamaan diatas?
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah menjelaskan bahwa seorang wanita yang duduk di tempat shalatnya setelah melaksanakan shalat Shubuh untuk berdzikir dan membaca al-Qur-an sampai matahari terbit, lalu ia melaksanakan shalat sunnah dua rakaat, maka sesungguhnya ia akan mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits tentangnya.
Dengan demikian, kita bisa mendapat pahala Umroh dan Haji setiap hari dengan melaksanakan amalan ini.
Nah, berapa kali target Anda 'Umroh' gratis di bulan Ramadhan?

Sebarkan, jadikan ilmu ini sebagai amal jariyah Anda. Dan ingtlah, orang yg menunjukan kebaikan akan mendapat pahala seperti orang yang mengerjakan karena Anda mengajarkan kebaikan itu kepadanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar