MARI BERGURU PADA AHLINYA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Allah SWT menugaskan
kenabian pada Ruh Agung, Muhammad SAW. Dialah, nabi penutup dan penunjuk dari
jalan sesat. Allah SWT mengutus beliau untuk mengingatkan ruh-ruh yang lalai
sehingga terbuka mata bashirah-nya dari lelap yang melalaikan. Maka, Nabi SAW
pun mengajak mereka agar kembali dan bisa bertemu dengan Jamalullâh yang azali.
Sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan (bashirah) yakin,’” (QS. Yusuf [12]: 108)
Nabi SAW juga bersabda, “Para sahabatku seperti
bintang-bintang, mengikuti yang mana pun, kalian akan mendapat petunjuk.” (HR.
Al-Qurthubi)
(Pada ayat tadi dijelaskan bahwa Nabi mengajak manusia
kembali kepada Allah SWT dengan yakin, yang di dalam Al-Qur’an dibahasakan
dengan bashirah) Bashirah adalah Inti Ruh yang terbuka bagi mata hati para
aulia. Bashirah ini tidak akan terbuka bagi mereka yang hanya mendalami ilmu
lahir saja. Untuk membukanya harus dengan ilmu Laduni Batin (ilmu yang langsung
dari Allah). Sesuai dengan firman Allah, “Dan Kami telah ajarkan kepadanya satu
ilmu (Laduni) dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahf [18]: 65).
Oleh sebab itu, orang yang ingin membuka Inti Ruhnya harus berguru pada
ahli-hali bashirah dengan mengambil talqin dari seorang wali mursyid yang akan
memberi petunjuk langsung dari Alam Lahut.
Wahai saudaraku! Perhatikanlah akan hal ini dan
cepat-cepatlah memohon ampun pada Tuhan kalian dengan segera bertobat. Allah
SWT berfirman, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi
orang-orang yang bertakwa,” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 133)
Dan, masuklah pada ath-thariq (jalan kembali kepada Allah) dan kembalilah
kepada Tuhan kalian bersama golongan ahli ruhani. Waktu sangat sempit, sedang
jalan hampir tertutup. Dan, sungguh sulit mencari teman yang dapat mengajak
kembali ke Negeri Asal (Alam Lahut). Kita berada di bumi yang hina dan akan
hancur ini, tidak hanya untuk berpangku tangan lalu makan, minum dan memenuhi
hawa nafsu belaka. Nabi kalian selalu menunggu dan sangat khawatir memikirkan
kalian. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Aku hingga pingsan karena mengkhawatirkan
umatku yang hidup di akhir zaman.”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan bahwa Nabi SAW
bersabda, “Satu tarikan dari tarikan-tarikan Allah Al-Haq sebanding dengan
ibadah seluruh jin dan manusia.” Dalam hadis yang lain disebutkan: “Orang yang
tidak punya rasa kasih sayang berarti hatinya tidak hidup.” Al-Junaid RA
berkata, “Bila Allah menanamkan rasa kasih sayang di dalam batin manusia, maka
akan muncul perasaan bahagia dan sedih.”
Allah SWT juga berfirman, “Maka apakah orang-orang
yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima Agama Islam, lalu ia mendapat
cahaya dari Tuhannya sama dengan orang yang membatu hatinya. Maka kecelakaan
besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (QS.
Az-Zumar [39]: 22)
Getaran hati itu ada dua macam yaitu getaran hati
jasmani dan getaran hati ruhani. Getaran hati jasmani adalah getaran hati yang
didorong oleh hawa nafsu yang muncul dari kekuatan jasad, bukan dari tarikan
kuat Ruhani. Contohnya, seperti riya’ (ingin diketahui orang) dan sum’ah (ingin
dibesar-besarkan orang atau ingin terkenal). Ini semua hal yang batil karena
keberadaannya masih berkisar pada diri. Getaran hati seperti ini tidak boleh
diikuti.
Adapun getaran hati ruhani terjadi ketika kekuatan ruh
bertambah karena tarikan (jadzbah) dari Allah SWT. Ini seperti bacaan Al-Quran
dengan suara yang bagus atau puisi yang memiliki rima bagus atau berdzikir yang
tembus sehingga jasad tidak mampu lagi bertahan dan tumbang. Gambaran seperti
ini merupakan limpahan rahmat Allah SWT dan baik untuk diikuti.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar,
MEMAHAMI ISYARAT CINTA ILAHI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda!
Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah
bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada
harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya. Maka,
hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah
engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi
tamu-Nya.
Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang
kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang
semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak
akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla. Dialah yang
seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq
yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan,
tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu
sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang
tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani
HAKIKAT AMALAN HATI DAN BADAN
Harist Al-Muhasibi rahimahullah mengatakan:
“Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi dengan rasa cinta kepada
ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi oleh perasaan seperti itu maka anggota
badan akan beramal sesuai dengan apa yang ia lihat dalam hati. Sebab, boleh
jadi anggota badan sedang sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur.”
“Lalu bagaimanakah bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Bagaimana ibadah
yang dilakukan hati akan mengalir menuju anggota
badan?”
Beliau menjawab, “Yakni ketika hati menjadi
wadah/tempat bagi kerisauan dan kesedihan, rasa papa dan sangat membutuhkan,
penyesalan, tawadu’, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya dan
cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci kepada apa yang Allah benci.
Jika ia menyikapi Allah dengan keadaan hati semacam ini, maka anggota badan
akan mengikuti gerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan ini akan
terwujud jika relung-relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah dan
ingatan terhadap hari Akhirat.
Di sisi lain, hendaknya hati juga diisi dengan
mengenali nikmat-nikmat Allah, gembira bersama-Nya, senang beribadah
kepada-Nya, rindu kepada-Nya, selalu senang bersyukur kepada-Nya, serta
berharap kepada ampunan-Nya.
Jika hati menyikapi Allah dengan keadaan hati seperti ini, maka anggota
badannya pun akan melakukan ibadah dan amal kebaikan. Anggota badan akan
beramal disertai rasa senang, gembira dan nikmat.”
--Harist Al-Muhasibi dalam Adab An-Nufus
ISTIQAMAH MENURUT HASAN AL-BASHRI
Imam Hasan Al-Bashri r.a. mengatakan, “Sebagian
orang enggan untuk mudawamah (konsisten dalam beramal dan mengerjakan secara
kontinyu). Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal selama
sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak
menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.”
-- Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa
al-Iman
RINDU KEPADA ALLAH DAN KETENANGAN JIWA
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali bercerita tentang
kerinduan Ibrahim bin Adham kepada Allah SWT yang begitu dahsyat. Sebuah
kerinduan yang sangat menggelisahkan jiwanya. Ibrahim begitu galau dan gelisah.
Ibrahim bin Adham bertutur, “Suatu hari aku berkata, “Wahai Rabb-ku. Jika
Engkau pernah memberi salah seorang dari para pecinta-Mu sesuatu yang dapat
menenangkan hatinya sebelum bertemu dengan-Mu, maka berikanlah juga itu padaku! Sungguh
aku galau dan gelisah dibuatnya.”
Setelah itu, aku bermimpi berdiri di hadapan-Nya, Dia
berfirman, “Wahai Ibrahim. Apakah engkau tidak malu meminta agar Aku memberimu
sesuatu yang dapat menenangkan hatimu sebelum bertemu dengan Aku? Apakah orang
yang tercekam rindu dapat tenang hatinya sebelum bertemu kekasihnya?”
Lalu, aku pun menjawab, “Wahai Rabb-ku. Kecintaanku
kepada-Mu telah melambung tinggi hingga aku tak tahu bagaimana harus berkata.
Ampunilah aku, ajarilah apa yang harus aku ucapkan.” Maka, Dia menjawab,
“Ucapkanlah, Ya Allah...Relakanlah aku dengan ketentuan-Mu, sabarkanlah aku
atas cobaan-Mu, dan berikanlah aku kesadaran untuk mensyukuri
nikmat-nikmat-Mu.”
Jadi, menurut Imam Al-Ghazali, kerinduan seperti ini
baru akan reda dan menemukan ketenangan nanti di akhirat kelak. Kerinduan ini
hanya berakhir di akhirat melalui perjumpaan dan penyaksian langsung terhadap
Allah Azza wa Jalla.
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq
wa al-Uns wa al-Ridha, Ihya Ulumuddin
HATI
BAGAIKAN CERMIN
Ibnu Atha’illah mengatakan:
“Hati bagaikan cermin, sedangkan nafsu seperti
nafas. Cermin buram setiap kali kau bernafas padanya. Hati seorang fasik tak
ubahnya seperti cermin milik lelaki tua renta yang tak lagi perhatian untuk
membersihkan atau menggunakannya. Sebaliknya, hati yang mengenal Allah bagaikan
cermin milik pengantin wanita. Setiap hari ia melihat cermin tersebut sehingga
tetap bening dan mengkilat. Perhatian utama seseorang yang zuhud adalah
bagaimana memperbanyak amal, sementara perhatian utama orang yang arif adalah
bagaimana meluruskan keadaan jiwa. Hati adalah tempat tatapan Tuhan. Nabi SAW
bersabda, ‘Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat
kepada hati dan amal kalian.’”
---Ibnu Atha’illah dalam Kitab Taj Al-‘Arus
PERUMPAMAAN HATI MANUSIA
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Hati manusia lebih bergolak daripada
kuali yang sedang mendidih di atas api.’ (HR Ahmad dan Al-Hakim) Betapa banyak
manusia yang kadang-kadang hatinya menyatu dengan Allah, tetapi sebentar
kemudian berpisah. Betapa banyak yang menghabiskan malam dalam ketaatan kepada
Allah, tetapi ketika matahari terbit, ia tak ingat lagi kepada-Nya. Hati sama
seperti mata. Bukan keseluruhan mata yang bisa melihat, melainkan sebagian
lensanya saja. Begitu juga dengan keadaan hati.
Jadi, bagian hati yang memandang bukanlah bagian lahiriahnya yang berupa
gumpalan daging, melainkan unsur lembut yang Allah letakkan di dalamnya. Unsur
itulah yang bisa memandang dan menangkap.
Allah sengaja menempatkan hati bergantung kepada dada
bagian kiri seperti ember. Jika dibebani oleh syahwat, maka ia akan bergerak
dan kalau dibebani ketakwaan juga bergerak. Kadang-kadang lintasan nafsu atau
syahwat yang lebih dominan, dan kadang-kadang lintasan takwa yang lebih
dominan. Karena itulah kadang-kadang hati menyadari dan menerima karunia Allah
dan kekuasaan-Nya. Kadang-kadang pada saat tertentu lintasan nafsu dapat
dikalahkan oleh lintasan takwa sehingga hati pun memujimu.
Tetapi, di saat yang lain, lintasan takwa dikalahkan
oleh lintasan nafsu sehingga hati pun mencelamu. Kedudukan hati bagaikan atap
rumah. Jika engkau menyalakan api di dalam rumah, asapnya akan membumbung ke
atap hingga membuatnya hitam. Seperti itulah api syahwat. Jika api syahwat
berkobar dalam tubuh, maka asap-asap dosanya akan naik memenuhi hati dan
menghitamkannya.”
---Ibnu Atha’illah dalam Taj Al-‘Arus
APAKAH HATIMU BERGETAR MENDENGAR PANGGILAN ALLAH?
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda,
“Satu tarikan dari tarikan-tarikan Allah Al-Haq sebanding dengan ibadah seluruh
jin dan manusia.” Dalam hadis yang lain disebutkan: “Orang yang tidak punya
rasa kasih sayang berarti hatinya tidak hidup.” Al-Junaid RA berkata, “Bila
Allah menanamkan rasa kasih sayang di dalam batin manusia, maka akan muncul perasaan
bahagia dan sedih.”
Allah SWT juga berfirman, “Maka apakah orang-orang
yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima Agama Islam, lalu ia mendapat
cahaya dari Tuhannya sama dengan orang yang membatu hatinya. Maka kecelakaan
besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (QS.
Az-Zumar [39]: 22)
Getaran hati itu ada dua macam yaitu getaran hati
jasmani dan getaran hati ruhani. Getaran hati jasmani adalah getaran hati yang
didorong oleh hawa nafsu yang muncul dari kekuatan jasad, bukan dari tarikan
kuat Ruhani. Contohnya, seperti riya’ (ingin diketahui orang) dan sum’ah (ingin
dibesar-besarkan orang atau ingin terkenal). Ini semua hal yang batil karena
keberadaannya masih berkisar pada diri. Getaran hati seperti ini tidak boleh diikuti.
Adapun getaran hati ruhani terjadi ketika kekuatan ruh
bertambah karena tarikan (jadzbah) dari Allah SWT. Ini seperti bacaan Al-Quran
dengan suara yang bagus atau puisi yang memiliki rima bagus atau berdzikir yang
tembus sehingga jasad tidak mampu lagi bertahan dan tumbang. Gambaran seperti
ini merupakan limpahan rahmat Allah SWT dan baik untuk diikuti.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar
MEMAHAMI ISYARAT CINTA ILAHI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda!
Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah
bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada
harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya. Maka,
hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah
engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi
tamu-Nya.
Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang
kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang
semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak
akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla. Dialah yang
seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq
yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan,
tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu
sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang
tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani
BISIKAN JIWA (AL-KHATHIR) ORANG YANG WUSHUL
Sayyid Abu Bakar bin Syaikh Al-Saqqaf Ba Alawi bertanya,
“Bagaimanakah hukum bisikan-bisikan yang melintas di hati orang yang washil
(sudah sampai kepada Allah mendapat kedudukan di sisi Allah)? Apakah ia harus
menolak bisikan-bisikan tersebut dan hanya bersandar kepada bisikan Allah, atau
apa yang mesti ia lakukan?”
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, menjawab: “Pemilik kedudukan (washil) itu
berbeda-beda tingkatan mereka. Orang yang mencapai kedudukan ini memiliki dua
keadaan. Pertama disebut al-jama’; Kedua disebut al-farq. Jika seseorang
mengalami keadaan yang pertama, yaitu al-jama’, ia akan fana terhadap dirinya
dan orang lain, ia akan asyik tenggelam bersama Tuhannya dengan seluruh
raganya. Saat itu, tidak ada lagi bisikan-bisikan yang datang, yang ada hanya
Allah, Dzat Yang Mahaada.
Seseorang yang sudah mencapai kedudukan ini
berkata,“Jika pada diriku terdapat bisikan keinginan selain kepada-Mu, yang
muncul karena kealpaanku, maka kuputuskan kemurtadan diriku.” Maksud dari
“kemurtadan” di sini adalah ‘Aku tidak tenggelam dan hanyut di dalam diri-Mu.
Berarti dia tak lagi di maqam ini.
Seseorang yang lain juga berkata, “Hatiku dipenuhi keinginan beragam lalu
menyatu sejak mata keinginanku memandang-Mu.”
Adapun bisikan yang bermacam-macam itu muncul disebabkan oleh pikiran yang
bercabang dan halangan yang banyak di dalam diri. Hal yang seperti ini tidak
dialami oleh seseorang yang sudah wushul (sampai) kepada Allah, karena ia telah
menyatukan pikiran dan kalbunya hanya kepada Allah semata. Keadaan ini
diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, “Aku memiliki satu waktu yang aku isi hanya
bersama Tuhanku.”
Keadaan semacam ini amatlah jarang dialami oleh
seseorang, saat itu terjadi maka akan tampak hal-hal yang mengagumkan dan
menakjubkan. Keadaan ini pernah dialami oleh beberapa masyayikh (para syekh
besar) di Irak selama 7 tahun lamanya, lalu ia tersadar sejenak sebelum akhirnya
kembali tenggelam dalam keadaan ini selama 7 tahun berikutnya. Selama berada
pada maqam ini, ia tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak shalat,
akan tetapi tetap berdiri tegak di tanah lapang sambil menengadahkan pandangan
matanya ke arah langit.
Kami juga pernah mendengar cerita tentang beberapa masyayikh di Mesir yang
berwudhu lalu berbaring seraya berkata pada pendampingnya, “Jangan engkau
bangunkan aku dari tidurku sampai aku sendiri yang akan bangun.” Ia pun
tertidur hingga 17 tahun lamanya, lalu ia bangkit dari tidurnya dan shalat
dengan wudhunya tersebut.
Para ‘arif billah merindukan keadaan al-jama’ ini.
Sedangkan Allah SWT, karena rasa kasih sayang-Nya, memindahkan mereka dari
keadaan ini. Agar mereka tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dan
terhindar dari rusaknya fisik dan hancurnya persendian mereka. Karena, anugerah
Allah berupa ilmu dan hikmah, jika sudah menguat dan menguasai, tidak akan
sanggup kekuatan fisik manusia menanggungnya. Bukankah Gunung Al-Thur terbakar
dan menjadi debu ketika cahaya anugerah Allah bersinar di atasnya?
Tidak benar pengakuan sebagian orang yang telah
dikuasai oleh setan yang menyatakan bahwa mereka telah mencapai maqam al-jama’
ini. Sehingga kita menyaksikan mereka meninggalkan ibadah dan melalaikan
kewajiban-kewajiban agama seperti puasa dan shalat. Di samping itu, mereka juga
memperturutkan syahwat dan keinginan nafsu mereka serta melakukan hal-hal yang
diharamkan oleh Allah SWT. Seandainya mereka adalah para wali Allah, seperti
pengakuan mereka, niscaya Allah akan memelihara mereka dari hal-hal tersebut.
Dan, seandainya mereka benar-benar hanyut dalam kefanaannya dengan Allah,
niscaya mereka akan lenyap dari selain diri-Nya.
Kami tidak akan memperpanjang pembicaraan, walaupun masalah ini adalah masalah
yang sangat luas pembahasannya. Bahkan, banyak orang yang tergelincir
pemahamannya saat membahas hal ini. Karena, ini termasuk masalah yang sangat
rumit dan sulit dipahami oleh akal manusia, apalagi hanya dengan
pikiran-pikiran belaka.
Mengenai keadaan farq, seseorang yang telah mencapai
akan selalu mendapatkan perlindungan dari Allah dan penglihatan dengan
pandangan inayah-Nya. Saat itulah, akan muncul bisikan Rabbani, yang disebut di
kalangan sufi dengan istilah idzn (izin), dan bisikan malaikat, mereka
menyebutnya sebagai ilham. Dan, mereka tidak melaksanakan bisikan-bisikan itu
kecuali yang sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan hadis.
Adapun Al-khathir asy-syaaithani (bisikan setan), hal
itu tidak ada pada diri mereka. Karena setan tidak sanggup mendekati hati orang
yang sudah wushul (sampai) kepada Allah dan selalu disinari dengan cahaya
makrifat kepada-Nya.
Bahkan,
terkadang setan justru tunduk kepada orang-orang yang telah washil kepada
Allah, seperti yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW. Rasul bersabda, “Aku
juga mendapat (godaan) setan, namun Allah SWT menolongku atasnya, hingga ia
menyerah dan tidak memerintah kecuali suatu kebaikan.”
Sedangkan mengenai al-khathir an-nafsani (bisikan nafsu), hal ini amat mustahil
ada pada diri orang yang telah sampai (washul) kepada Allah. Karena jiwa orang
yang wahsil, telah merasa tentram dan tenang bersama Allah, serta senantiasa
dekat dan tunduk hanya kepada-Nya. Allah menyeru serta memanggilnya, hingga
jiwa itu datang dan kembali kepada-Nya. Lalu, Allah memasukkannya ke dalam
golongan hamba-hamba-Nya dan menempatkan mereka di dalam surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, dan hanya disedikan untuk hamba-hamba yang bertakwa.”
-- Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais Al-‘Uluwiyyah fi
Masail Ash-Shufiyyah.
KEDAHSYATAN SIKAP TAWAKAL
Tawakal merupakan perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW.
Jika hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan
menjadikan seorang hamba menjadi hina dan menderita. Sebab, tawakal tidak bukan
hanya penunjukkan sikap kepasrahan yang tidak beralasan, tapi tawakal juga
harus terlebih dahulu dan didahului dengan adanya usaha yang maksiman.
Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari makna tawakal itu.
Rasulullah SAW adalah pekerja keras, pemimpin yang sangat cerdas, pengusaha
hebat dan panglima perang yang tangguh. Tapi, beliau selalu menggantungkan
sikap tawakalnya hanya kepada Allah. Karena itu beliau selalu mengucapkan
doa-doa mengenai rasa tawakalnya kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ
وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي أَنْتَ الْحَيُّ
الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa
berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah
aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku
bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku
berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah
Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin
dan manusia mati. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا
مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ
جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ
وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري(
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’
kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga
telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya
takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala
kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah
melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa
ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai
tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
Sikap tawakal yang dilakukan secara kuat dengan keyakinan dan keimanan yang
hebat justru merupakan kekuatan mahadasyat. Kepasrahan kepada Allah adalah
jalan satu-satunya yang dapat menyelamatkan, mengamankan, membahagiakan dan
memenangkan. Alkisah. Pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW
sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung
di pohon. Tiba-tiba datang seorang musyrik yang mengambil pedang beliau sambil
berkata, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Namun dengan sangat tenang
Rasulullah SAW menjawab, “ALLAH.” Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang
yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya
bertanya, “sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?”
Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
(رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang
sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian
sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam
keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR.
Tirmidzi)
Usaha dan doa adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang yang
mengaku bertawakal, namun tanpa memiliki usaha apa pun maka dia sebenarnya
telah berdusta pada dirinya sendiri. Sebagai seorang hamba, kita tetap memiliki
kewajiban untuk berusaha dan berkerja, serta menggantungkan keputusan dan
hasilnya pada Allah Yang Maha Berkehendak.
Rasulullah SAW juga bersabda:
عَنْ
أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا
وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه
الترمذي)
Dari
Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai
Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan
aku bertawakal?’ Rasulullah SAW, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR.
Tirmidzi)
Renung-renungkanlah, Pikir-pikirkanlah!
BOLEH
JADI, DOA ORANG ARIF PUN TAK DIKABULKAN
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
mengatakan:
“Seorang yang Arif itu tidak dikabulkan setiap
kali dia meminta (berdoa) kepada Tuhannya. Tidak dikabulkannya itu agar sang
arif tersebut tidak dikalahkan oleh sifat pengharapan, yang dapat menyebabkan
dia menjadi binasa karenanya. Sesungguhnya, tak ada satu pun derajat atau maqam
yang tidak terdapat sifat takut (khauf) dan berharap (raja’) di dalamnya.
Kedua sifat tersebut seperti dua sayap burung, dan keimanan belum dianggap sempurna jika
tanpa kedua sifat tersebut. Begitu pula maqam-maqam (dalam tasawuf). Namun,
sikap khauf dan raja’ itu sesuai dengan situasi dan keadaan.
Seorang yang Arif itu adalah orang yang diberi
kedekatan (oleh Allah) dan dia berusaha untuk mendekat. Adapun keadaan dan
tingkatannya adalah dia tidak menginginkan sesuatu pun selain Allah SWT; tidak
bersandar kepada selain-Nya dan tidak merasa tenang kepada selain Allah. Serta
tidak mau bersenang-senang dengan selain-Nya. Dia hanya mencari terkabulkannya
permintaan dan terpenuhinya janji selain yang dia alami dan yang sesuai dengan
dirinya.
Maka, dalam keadaan tersebut, terdapat dua hal;
Pertama, agar dia tidak dikalahkan oleh sifat berharap dalam dirinya dan
tertipu dengan daya upaya Allah yang dapat menyebabkan dia binasa; Kedua, agar
hamba tersebut tidak menyekutukan Tuhannya Azza wa Jalla dengan sesuatu pun
selain-Nya. Karena, tidak seorang pun ma’sum di dunia ini, selain para Nabi,
khususnya Nabi Muhammad SAW. Jadi, Allah SWT tidak mengabulkan atau tidak
menepati (permohonannya) agar dia tidak meminta seperti biasanya dan
menginginkan sesuatu yang biasa terjadi, dan bukan pula karena sekadar
mengikuti perintah-Nya. Sebab, dalam keadaan ini terdapat unsur syirik. Dan,
syirik adalah dosa besar dalam semua keadaan, dalam semua rahasia maqam, dan
dalam seluruh ajaran (para nabi) terdahulu.
Adapun, jika permohonan tersebut merupakan suatu
perintah, maka hal tersebut adalah sesuatu yang dapat menambah kedekatan
kepadanya, misalnya shalat, puasa dan selainnya dalam ibadah fardhu ataupun
sunnah. Karena, pada keadaan ini, seorang hamba sebenarnya adalah seorang yang
sedang mengikuti perintah-Nya (bukan mengikuti nafsunya).”
SABAR DAN SYUKUR SEBAGAI JALAN TAWAKAL
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Wahai anakku,
hendaklah engkau mempelajari ilmu dan bersikap ikhlas sehingga engkau bersih
dari perangkap dan tali kemunafikan. Carilah ilmu karena Allah Azza wa Jalla,
bukan karena makhluk atau karena dunia. Dan, ciri pencari ilmu karena Allah
adalah, engkau merasa takut kepada Allah ketika datang perintah dan
larangan-Nya. Engkau merasa takut dan hina di hadapan-Nya. Lalu, bersikap
rendah hati terhadap makhluk tanpa membutuhkannya. Tidak berambisi
terhadap apa yang mereka miliki.
Dan, bersahabatlah di jalan Allah, dan bermusuhanlah
di jalan Allah. Sebab, persahabatan bukan di jalan Allah adalah permusuhan.
Keteguhan selain di jalan Allah adalah kehancuran. Serta, pemberian bukan di
jalan-Nya akan terhalang. Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu terdiri dari 2
bagian; satu bagian sabar dan satu bagian syukur.”
Jika engkau tidak bersabar atas siksaan dan tidak
mensyukuri nikmat, berarti engkau bukan termasuk orang yang beriman. Di antara
hakikat Islam adalah mau berserah diri kepada Allah.
Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menyediakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangka,” (QS 65; 2-3)
Karena itu, berdoalah!
“Ya Allah, hidupkanlah hati kami dengan tawakal
kepada-Mu, dengan ketaatan kepada-Mu, dengan mengingat-Mu, dengan menyesuaikan
diri kepada-Mu dan dengan kekuatan tauhid kepada-Mu.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani
TAKWA DAN HAKIKAT DIRI MENURUT SYEKH ABDUL QADIR
AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada pembukaan Surah An-Nisa dalam
Tafsir Al-Jailani mengatakan:
“Sungguh! Tidaklah tersembunyi bagi para Ahli Tauhid yang merenungi bagaimana
Keesaan Dzat dapat meluas menjangkau pelbagai lembaran entitas yang bersifat
mumkin (tidak mutlak), fana` (tidak kekal), dan berbatas, bahwa al-Haqq jalla
jalâluh wa 'amma nawâluh –sesuai dengan ketunggalan Zat-Nya- selalu
memanifestasi di setiap butir zarah yang ada di alam terkecil sekali pun,
berdasarkan isti’dad (kesiapan) dan potensi pada alam untuk memansifestasikan
semua sifat dan asma-Nya dalam kegaiban huwiyah (identitas kedirian)-Nya.
Adapun manifestasi paling sempurna yang menghimpun
semua jejak asma dan sifat-sifat Ilahiah secara detail tidak lain adalah Insan
Kamil, Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Allah telah menciptakannya sesuai
dengan citra-Nya, mengangkatnya menjadi khalifah di antara semua makhluk-Nya,
memuliakannya di atas semua ciptaan-Nya, serta menganugerahinya berbagai
kebaikan makrifat dan hakikat-Nya.
Zat Allah secara langsung mematangkannya, dan Dia pula
yang memelihara dengan mengirimkan rasul-rasul serta menurunkan kitab-kitab
suci-Nya agar darinya dapat termanifestasi segala kesempurnaan yang telah
tersemat di dalam dirinya, yang merupakan manifestasi dari semua al-asmâ`
al-husnâ dan ash-shifât al-ulyâ milik Allah. Sehingga ia layak bersemayam di
martabah khilafah (sebagai khalifah Allah) dan niyabah (sebagai wakil Allah),
serta menetap di tataran tauhid.
Itulah sebabnya Allah menyeru hamba-hamba-Nya sebagai
nikmat bagi mereka agar mereka mau menerimanya, dan Allah berwasiat kepada
mereka untuk bertakwa agar mereka menjadikan takwa sebagai pelindung dan
lambang kehormatan.
Dengan nama Allah yang telah menunjukkan kepada orang yang Dia tunjuk sebagai
khalifah, semua kesempurnaan-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya; Allah Maha
Pengasih kepada sang khalifah dengan menghamparkan tingkatannya dan mewariskan
martabah-nya; Allah Maha Penyayang kepadanya dengan memberinya petunjuk tentang
tempat asalnya dan juga tempat kembalinya.
Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian
yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan Dia menciptakan darinya
isterinya; dan Dia memperkembang-biakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu
mengawasi kalian.” (QS An-Nisa: 1)
Wahai sekalian manusia, yang melupakan tempat asal
yang sejati dan tempat tinggal yang hakiki, disebabkan gemerlap dunia yang
menghalangi pencapaian kepadanya, kalian harus berhati-hati terhadap
godaan-godaannya, dan kalian harus menghindari khayalannya, agar kalian tidak
terjatuh dari martabah kalian yang sejati dan dari tempat kalian yang hakiki.
Bertakwalah hindarilah (dunia) dan carilah perlindungan kepada Tuhan kalian
yang telah memelihara kalian dengan pemeliharaan terbaik. Dia telah menciptakan
kalian. Dialah yang pertama menampilkan atau mengadakan (menciptakan) kalian
dari diri yang satu, yaitu martabah fa’al yang meliputi semua martabah
al-kauniyah (kosmis) dan al-kiyaniyah (entitas). "Diri yang Satu" ini
tidak lain adalah al-Marâtib al-Jâmi'ah al-Muhammadiyyah yang disebut dengan
nama al-'Aql al-Kulliy (Akal Universal) atau al-Qalam al-A'lâ (Pena Tertinggi),
yang menyempurnakan batin dan aspek kegaiban kalian.
Dia menciptakan darinya melalui Perkawinan Simbolis
(an-Nikâh al-Ma'nawiy) dan Pernikahan Hakiki (az-Zawâj al-Haqîqiy) yang terjadi
antara berbagai sifat dan asma Ilahiah, isterinya, yaitu an-Nafs al-Kulliyyah
(Jiwa Universal) yang siap menerima limpahan berbagai jejak yang muncul dari
Awal yang Terpilih (al-Mabda` al-Mukhtâr) yang akan menggenapi aspek lahiriah
dan penampakan kalian, sehingga manusia layak menjadi khalifah dan wakil Allah
sesuai dengan lahir dan batin mereka;
Dan, setelah keduanya menjadi pasangan "suami-istri", Allah juga
memperkembang-biakkan, menghamparkan dan menyebarkan dari keduanya juga dari
"pernikahan" yang disebutkan tadi laki-laki yang banyak. Maksudnya,
laki-laki berbagai fâ'il (subjek aktif) yang melimpahkan berbagai limpahan.
Dan, “perempuan” sebagai qâbil (penerima pasif) yang menerima berbagai
limpahan. Masing-masing dengan perbedaannya pada berbagai detail munâsabah
(saling bergantung, saling membutuhkan dan saling mengasihi) yang muncul di
antara tajaliyat al-hubbiyyah (tajalli cinta) sebagaimana yang dijelaskan oleh
kitab-kitab suci dan para rasul.
Ketika Allah sang Pemilik (rabb) berbagai asma yang
bermacam ragamnya sesuai dengan keragaman makhluk (marbûb) menyatakan dengan
gamblang tentang ketuhanan-Nya yang mencakup semua sifat dan asma tanpa
kerancuan sama sekali, untuk menegaskan perintah agar makhluk-Nya bertakwa, Dia
pun berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah”, ini dimaksudkan agar kita
berhati-hati dari segala yang dapat menyibukkan kita dari Allah subhânahu wa
ta'âlâ, sebab Dia lebih dekat dengan kalian dibandingkan urat leher kalian
sendiri.
Karena
Dia yang kalian saling bertanya dan saling bersaing dengan-Nya. Kalian sering
menduga-duga bahwa Dia jauh, disebabkan terlalu dekatnya Dia. Maka, peliharalah
hubungan kekeluargaan yang lahir dari Perkawinan Simbolis dan Pernikahan Cinta
sebagaimana yang telah dijelaskan-Nya. Sesungguhnya Allah yang Maha Meliputi
kalian dan semua keadaan kalian. Sesungguhnya Allah terhadap kalian selalu
mengawasi dan menjaga. Dia menjaga kalian dari segala yang tidak berguna bagi
kalian jika kalian bertawajuh kepada-Nya dengan ikhlas.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani, terj. Tim Markaz
Al-Jailani.
MENGHADAPI MUSIBAH DAN KESULITAN HIDUP
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Untuk mengatasi kendala yang
disebabkan oleh musibah dan kesulitan hidup yang menimpa, cukup bagimu untuk
bersabar. Bersabarlah dalam semua ikhwal kehidupan!
Pentingnya bersabar didorong oleh dua alasan:
Pertama, agar sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab, fondasi ibadah
adalah kesabaran dan tahan terhadap berbagai kesulitan hidup. Siapa yang tak
mampu bersabar, maka dia tidak akan sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah.
Sebab orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala pasti menghadapi berbagai
kesukaran hidup, ujian dan musibah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
1) Setiap bentuk ibadah dan ketaatan itu sendiri mengandung berbagai kesukaran.
Tak ada ibadah yang dilakukan tanpa menekan hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu
selalu berusaha mencegah seseorang untuk beribadah dan taat kepada Allah.
2) Setelah mengerjakan kebaikan dengan susah payah, seorang hamba harus
berhati-hati menjaganya, agar ibadahnya itu tidak rusak. Karena, istikamah dan
menjaga amal ibadah itu lebih sukar daripada mengerjakan amal pada kali
pertama.
3) Dunia ini tempat ujian, maka siapa saja yang berada di dalamnya pasti akan
mendapat ujian dengan berbagai kesulitan dan musibah.
4) Orang-orang yang lebih memilih akhirat daripada dunia itu akan mengalami
cobaan yang lebih parah dan lebih banyak. Semakin ia dekat kepada Allah, maka
musibah dan ujian dunia akan lebih banyak dan lebih keras menerpanya.
Sebagaimana sabda Rasul, “Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi,
kemudian para ulama, kemudian orang yang terbaik dan kemudian orang yang
terbaik di bawahnya.” Allah SWT berfirman, “Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap
harta dan diri kalian. Dan (juga) kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari
orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian serta dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak, yang akan menyakitkan hati,”(QS
Ali Imran: 186). Maka persiapkan diri kalian karena pasti kalian akan mengalami
banyak ujian!
Kedua, karena di dalam kesabaran terkandung nilai
kebaikan dunia dan akhirat. Di antaranya adalah keselamatan dan kesuksesan.
Siapa yang bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, maka Dia akan
menjadikan jalan keluar bagi hamba tersebut dari berbagai bentuk kesukaran yang
menimpanya. Keuntungan lain yang diperoleh dari sikap sabar adalah ia akan
lebih mudah untuk diterima menjadi pemimpin ataupun pembimbing di masyarakat
luas.
Allah juga berfirman, “Maka bersabarlah, sesungguhnya
kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Huud: 49) Allah
berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yangmemberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabdar,” (QS As-Sajdah: 24)
Sesorang yang bersabar juga akan memperoleh kabar gembira, doa dan rahmat dari
Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “Dan berikanlah kabar gembira kepada
orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka
mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun/ sesungguhnya segala sesuatu
berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]:
155-156)
Orang yang bersabar akan mendapat pujian khusus dari
Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran kepada Nabi Ayyub. Mereka
yang bersabar juga akan sangat dicintai Allah Azza wa Jalla. “Allah mencintai
orang-orang yang bersabar,” (QS Ali Imran: 146). Mereka akan hidup dalam
kemuliaan yang besar di sisi Allah, mendapat pahala yang berlimpah, tak
terbatas dan di luar yang dibayangkan oleh manusia.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan
dicukupkan pahala mereka tanpa batas, “ (QS Az-Zumar: 10)
Semoga
Allah menjadikan kita hamba-hamba yang mampu bersabar! Setelah mengetahui
kebaikan dan manfaat dari sabar ini, maka tanamkanlah kebaikan sabar itu dalam
kalbumu! Cobalah dengan keras untuk bisa memiliki sifat mulia ini sehingga
kalian menjadi orang yang sukses (beruntung). Semoga Allah SWT memberi kalian
taufik.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidiin
HINDARI
CINTA BERTEPUK SEBELAH TANGAN
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
mengatakan, “Syarat cinta adalah engkau mempunyai keinginan bersama Dzat Yang
kaucintai. Lalu, engkau tak berpaling dari-Nya, baik karena dunia, akhirat
ataupun makhluk. Kecintaan kepada Allah bukanlah sesuatu yang ringan sehingga
bisa diklaim oleh setiap orang.
Betapa banyak orang yang mengklaim cinta kepada
Allah, tetapi justru jauh dari-Nya? Begitu banyak orang yang tidak mengklaim
cinta kepada Allah, tetapi justru ada di sisi-Nya?
Maka, janganlah meremehkan seorang Muslim pun,
sebab berbagai rahasia Allah tersebar pada mereka. Bersikaplah tawadhu dan
jangan bersikap takabur atas hamba-hamba Allah. Sadarilah kelalainmu! Sebab
engkau tidak lain kecuali berada dalam kelalaian yang sangat parah; seolah-olah
shirat benar-benar telah terperikan dan tergambarkan pada dirimu dan
seolah-olah engkau telah melihat tempatmu di surga. Ini sebuah keterpedayaan
yang sangat luar biasa.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath
Ar-Rabbani
MARI BERSIHKAN CERMIN HATI KITA
"Kalbu yang mengenal Allah seperti cermin milik pengantin
wanita yang cantik. Setiap hari ia bersihkan cermin tersebut dan ia pakai
sehingga tetap bening dan mengkilat."
---Syekh Ibnu Atha'illah
Bagaimana mungkin hati ini dapat menampung cahaya
Ilahi, jika hati yang kita diselubungi debu. Kita harus terus membersihkan
cermin jiwa setiap saat dan berkaca pada diri sendiri.Dengan begitu, hati akan
tetap terjaga dari noda dan dosa, serta siap menerima
pancaran cahaya Ilahi.Mari bercermin setiap saat, agar kita tahu baik-buruk,
indah-jelek, jauh-dekat, sesuai-tak sesuai diri kita. Semoga bermanfaat!
“Wahai Tuhan,bersihkanlah dariku seluruh
kesalahanku dengan air dari salju dan hujan,sucikan kesalahan-kesalahan dari
hatiku sebagaimana Engkau menyucikan kotoran dari kain putih,dan bebaskanlah
aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engkau telah menghilangkan timur dan
barat.” (H.R.Bukhari)
SEBENARNYA KITA PEMBERANI ATAU PEMARAH?
Sahl ibn Mu‘adz meriwayatkan dari ayahnya bahwa Nabi saw.
bersabda, “Siapa yang menahan marah, padahal ia mampu untuk melampiaskannya,
maka Allah akan memujinya dan membanggakan orang itu di hadapan makhluk-makhluk
di hari kiamat. Hingga akhirnya ia dipersilahkan untuk memilih bidadari yang
ingin dipersuntingnya.” (HR al-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Alkisah. Ketika ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz hendak menyadarkan orang yang sedang
mabuk, maka pemabuk itu justru menamparnya.
Pemabuk itu terus menamparnya, lalu beliau kembali ke
rumahnya. Seseorang bertanya kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah karena
orang itu telah menamparmu, lalu engkau meninggalkannya?” Beliau menjawab,
“Karena orang itu telah membuatku marah. Saya khawatir, jika saya
menyadarkannya, maka hal itu didasarkan karena kemarahanku kepadanya dan saya
tidak suka memukul orang lain karena membela diri.”
Lukman berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, ada
tiga hal yang hanya dapat diketahui dengan tiga hal lainnya. Pertama, seseorang
tidak akan diketahui sebagai orang lemah lembut, kecuali saat menghadapi
kemarahan. Kedua, seseorang tidak akan diketahui sebagai pemberani, kecuali
saat berperang. Ketiga, seseorang tidak akan diketahui sebagai orang yang
peduli kepada sesamanya, kecuali saat diminta bantuan oleh orang lain
NASEHAT BIJAK PENGHUNI LANGIT
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Di antara hamba-hamba
Allah ada sedikit individu yang menghindari berteman dengan makhluk dan
menemukan persahabatan yang akrab di tempat-tempat menyepi (khalawât). Mereka
menikmati keakraban seperti itu dalam membaca Al-Quran dan membaca sabda-sabda
Rasul SAW maka mereka lalu memiliki hati yang sangat akrab dengan makhluk dan
dekat dengan mereka, dan dengan yang dengannya mereka melihat diri rendah
mereka sendiri (nufûs) dan diri-diri rendah orang lain. Hati mereka sehat,
sehingga tak sesuatu pun yang engkau kejar tersembunyi dari mereka. Mereka bisa
berbicara tentang apa yang kalian pikirkan dan kalian rasakan, dan mereka bisa
mengatakan kepada kalian mengenai situasi di rumah-rumah kalian.
Celakalah kalian! Gunakanlah akal sehat kalian!
Janganlah kalian bersaing dengan manusia-manusia (pilihan Tuhan) dalam
kejahilan kalian. Setelah kalian selesai dari (mengkaji) Al-Kitab, kalian akan
bangun dan berbicara kepada orang banyak. Setelah hitamnya tinta mengenai
pakaian dan badan kalian, dan setelah merenung dengan cermat, kalian akan
berbicara kepada orang banyak. Ini adalah masalah yang menuntut kemampuan lahir
dan kemampuan batin, kemudian kebebasan dari semua keterikatan.”
Wahai kalian yang begitu lalai akan apa yang dituntut
dari kalian, ingatlah akan Kiamat Khusus (al-qiyâmat al-khâshshah) dan Kiamat
Umum (al-qiyâmat al-ʽâmmah). Kiamat Khusus adalah kematian masing-masing kalian
sebagai individu, sedangkan Kiamat Umum adalah kiamat yang telah dijanjikan
Allah kepada semua makhluk-Nya. Kalian harus ingat dan merenungkan firman
Allah: “Pada hari ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada
(Tuhan) Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat; dan Kami akan
menggiring orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga (QS
Maryam (19):85-86).
Sunguh gerombolan yang kelelahan dan kehausan!
Orang-orang yang bertakwa akan dikumpulkan, tetapi orang-orang yang durhaka dan
berdosa akan digiring bagaikan gerombolan binatang ternak. Semoga Allah
berbelas kasih kepada hamba-Nya yang mengingat hari itu, dan menjadikannya
termasuk ke dalam kalangan orang-orang bertakwa bahkan sekarang ini, pada hari
ini, sehingga dia bisa dikumpulkan bersama-sama dengan mereka manakala hari itu
datang. Wahai kalian yang telah meninggalkan ketakwaan!
Pada Hari Kiamat nanti orang-orang yang bertakwa akan
dikumpulkan kepada Yang Maha Pengasih sebagai rombongan yang baik, berkendara
bersama para malaikat, sementara amal-amal baik mereka mengambil bentuk yang
nampak di sekeliling mereka. Masing-masing dari mereka akan memiliki kuda
berdarah murni (najîb) untuk dikendarainya, dan kuda itu adalah amalnya,
sementara serbannya adalah ilmunya. Amal-amal perbuatan yang baik akan
mengambil bentuk yang menarik, sementara amal yang buruk akan mengambil bentuk
yang buruk.
Kunci kepada ketakwaan adalah tobat dan kesabaran dalam menjalaninya. Demikian
juga, tobat adalah kunci kepada kedekatan dengan Allah Yang Maha Kuasa lagi
Maha Agung.
Tobat adalah akar maupun cabang dari semua yang baik.
Inilah sebabnya orang-orang yang saleh tidak pernah membiarkan diri mereka
disimpangkan darinya dalam situasi dan kondisi bagaimana pun. Bertobatlah,
wahai kalian yang selalu kembali kepada kejahatan, wahai para pembangkang yang
berdosa! Berdamailah dengan Tuhanmu dengan cara bertobat.
Kalbu
ini tidak berharga bagi Tuhan Yang Maha Benar selama ia masih berisi satu atom
pun dari dunia ini dan kerinduan sedikit pun kepada makhluk. Karena itu jika
kalian ingin menjadikannya sehat, kalian harus mengusir keluar
keterikatan-keterikatan ini dari hati kalian. Ini tidak akan menimbulkan
kerugian atau pun bahaya bagi kalian. Sebab, begitu kalian telah berkontak
dengan-Nya, dunia ini dan sesama makhluk akan datang kepada kalian, sementara
kalian berada bersama-Nya, di pintu-Nya. Ini adalah sesuatu yang telah diuji
kebenarannya oleh pengalaman. Ini telah dialami sebagai fakta oleh mereka yang
mengamalkan zuhud, meninggalkan dunia dan mencegah diri dari yang haram
(az-zâhidîn at-târikûn al-mutawarriʽûn).”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar