Rabu, 17 Juni 2015

MARI BERGURU

 MARI BERGURU PADA AHLINYA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Allah SWT menugaskan kenabian pada Ruh Agung, Muhammad SAW. Dialah, nabi penutup dan penunjuk dari jalan sesat. Allah SWT mengutus beliau untuk mengingatkan ruh-ruh yang lalai sehingga terbuka mata bashirah-nya dari lelap yang melalaikan. Maka, Nabi SAW pun mengajak mereka agar kembali dan bisa bertemu dengan Jamalullâh yang azali. Sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan (bashirah) yakin,’” (QS. Yusuf [12]: 108)
Nabi SAW juga bersabda, “Para sahabatku seperti bintang-bintang, mengikuti yang mana pun, kalian akan mendapat petunjuk.” (HR. Al-Qurthubi)

(Pada ayat tadi dijelaskan bahwa Nabi mengajak manusia kembali kepada Allah SWT dengan yakin, yang di dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan bashirah) Bashirah adalah Inti Ruh yang terbuka bagi mata hati para aulia. Bashirah ini tidak akan terbuka bagi mereka yang hanya mendalami ilmu lahir saja. Untuk membukanya harus dengan ilmu Laduni Batin (ilmu yang langsung dari Allah). Sesuai dengan firman Allah, “Dan Kami telah ajarkan kepadanya satu ilmu (Laduni) dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahf [18]: 65). 
Oleh sebab itu, orang yang ingin membuka Inti Ruhnya harus berguru pada ahli-hali bashirah dengan mengambil talqin dari seorang wali mursyid yang akan memberi petunjuk langsung dari Alam Lahut.

Wahai saudaraku! Perhatikanlah akan hal ini dan cepat-cepatlah memohon ampun pada Tuhan kalian dengan segera bertobat. Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 133)
Dan, masuklah pada ath-thariq (jalan kembali kepada Allah) dan kembalilah kepada Tuhan kalian bersama golongan ahli ruhani. Waktu sangat sempit, sedang jalan hampir tertutup. Dan, sungguh sulit mencari teman yang dapat mengajak kembali ke Negeri Asal (Alam Lahut). Kita berada di bumi yang hina dan akan hancur ini, tidak hanya untuk berpangku tangan lalu makan, minum dan memenuhi hawa nafsu belaka. Nabi kalian selalu menunggu dan sangat khawatir memikirkan kalian. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Aku hingga pingsan karena mengkhawatirkan umatku yang hidup di akhir zaman.”

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Satu tarikan dari tarikan-tarikan Allah Al-Haq sebanding dengan ibadah seluruh jin dan manusia.” Dalam hadis yang lain disebutkan: “Orang yang tidak punya rasa kasih sayang berarti hatinya tidak hidup.” Al-Junaid RA berkata, “Bila Allah menanamkan rasa kasih sayang di dalam batin manusia, maka akan muncul perasaan bahagia dan sedih.”
Allah SWT juga berfirman, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima Agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya sama dengan orang yang membatu hatinya. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (QS. Az-Zumar [39]: 22)

Getaran hati itu ada dua macam yaitu getaran hati jasmani dan getaran hati ruhani. Getaran hati jasmani adalah getaran hati yang didorong oleh hawa nafsu yang muncul dari kekuatan jasad, bukan dari tarikan kuat Ruhani. Contohnya, seperti riya’ (ingin diketahui orang) dan sum’ah (ingin dibesar-besarkan orang atau ingin terkenal). Ini semua hal yang batil karena keberadaannya masih berkisar pada diri. Getaran hati seperti ini tidak boleh diikuti.
Adapun getaran hati ruhani terjadi ketika kekuatan ruh bertambah karena tarikan (jadzbah) dari Allah SWT. Ini seperti bacaan Al-Quran dengan suara yang bagus atau puisi yang memiliki rima bagus atau berdzikir yang tembus sehingga jasad tidak mampu lagi bertahan dan tumbang. Gambaran seperti ini merupakan limpahan rahmat Allah SWT dan baik untuk diikuti.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar, 


MEMAHAMI ISYARAT CINTA ILAHI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda! Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya. Maka, hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi tamu-Nya.

Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla. Dialah yang seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan, tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani


HAKIKAT AMALAN HATI DAN BADAN
Harist Al-Muhasibi rahimahullah mengatakan:
“Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi dengan rasa cinta kepada ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi oleh perasaan seperti itu maka anggota badan akan beramal sesuai dengan apa yang ia lihat dalam hati. Sebab, boleh jadi anggota badan sedang sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur.”
“Lalu bagaimanakah bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Bagaimana ibadah yang dilakukan hati akan mengalir menuju anggota badan?”

Beliau menjawab, “Yakni ketika hati menjadi wadah/tempat bagi kerisauan dan kesedihan, rasa papa dan sangat membutuhkan, penyesalan, tawadu’, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya dan cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci kepada apa yang Allah benci.
Jika ia menyikapi Allah dengan keadaan hati semacam ini, maka anggota badan akan mengikuti gerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan ini akan terwujud jika relung-relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah dan ingatan terhadap hari Akhirat.

Di sisi lain, hendaknya hati juga diisi dengan mengenali nikmat-nikmat Allah, gembira bersama-Nya, senang beribadah kepada-Nya, rindu kepada-Nya, selalu senang bersyukur kepada-Nya, serta berharap kepada ampunan-Nya.
Jika hati menyikapi Allah dengan keadaan hati seperti ini, maka anggota badannya pun akan melakukan ibadah dan amal kebaikan. Anggota badan akan beramal disertai rasa senang, gembira dan nikmat.”
--Harist Al-Muhasibi dalam Adab An-Nufus


ISTIQAMAH MENURUT HASAN AL-BASHRI
Imam Hasan Al-Bashri r.a. mengatakan, “Sebagian orang enggan untuk mudawamah (konsisten dalam beramal dan mengerjakan secara kontinyu). Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.”
-- Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman


RINDU KEPADA ALLAH DAN KETENANGAN JIWA
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali bercerita tentang kerinduan Ibrahim bin Adham kepada Allah SWT yang begitu dahsyat. Sebuah kerinduan yang sangat menggelisahkan jiwanya. Ibrahim begitu galau dan gelisah.
Ibrahim bin Adham bertutur, “Suatu hari aku berkata, “Wahai Rabb-ku. Jika Engkau pernah memberi salah seorang dari para pecinta-Mu sesuatu yang dapat menenangkan hatinya sebelum bertemu dengan-Mu, maka berikanlah juga itu padaku! Sungguh aku galau dan gelisah dibuatnya.”

Setelah itu, aku bermimpi berdiri di hadapan-Nya, Dia berfirman, “Wahai Ibrahim. Apakah engkau tidak malu meminta agar Aku memberimu sesuatu yang dapat menenangkan hatimu sebelum bertemu dengan Aku? Apakah orang yang tercekam rindu dapat tenang hatinya sebelum bertemu kekasihnya?”
Lalu, aku pun menjawab, “Wahai Rabb-ku. Kecintaanku kepada-Mu telah melambung tinggi hingga aku tak tahu bagaimana harus berkata. Ampunilah aku, ajarilah apa yang harus aku ucapkan.” Maka, Dia menjawab, “Ucapkanlah, Ya Allah...Relakanlah aku dengan ketentuan-Mu, sabarkanlah aku atas cobaan-Mu, dan berikanlah aku kesadaran untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Mu.”
Jadi, menurut Imam Al-Ghazali, kerinduan seperti ini baru akan reda dan menemukan ketenangan nanti di akhirat kelak. Kerinduan ini hanya berakhir di akhirat melalui perjumpaan dan penyaksian langsung terhadap Allah Azza wa Jalla.
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, Ihya Ulumuddin

HATI BAGAIKAN CERMIN
Ibnu Atha’illah mengatakan: 
“Hati bagaikan cermin, sedangkan nafsu seperti nafas. Cermin buram setiap kali kau bernafas padanya. Hati seorang fasik tak ubahnya seperti cermin milik lelaki tua renta yang tak lagi perhatian untuk membersihkan atau menggunakannya. Sebaliknya, hati yang mengenal Allah bagaikan cermin milik pengantin wanita. Setiap hari ia melihat cermin tersebut sehingga tetap bening dan mengkilat. Perhatian utama seseorang yang zuhud adalah bagaimana memperbanyak amal, sementara perhatian utama orang yang arif adalah bagaimana meluruskan keadaan jiwa. Hati adalah tempat tatapan Tuhan. Nabi SAW bersabda, ‘Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.’” 
---Ibnu Atha’illah dalam Kitab Taj Al-‘Arus


PERUMPAMAAN HATI MANUSIA
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Hati manusia lebih bergolak daripada kuali yang sedang mendidih di atas api.’ (HR Ahmad dan Al-Hakim) Betapa banyak manusia yang kadang-kadang hatinya menyatu dengan Allah, tetapi sebentar kemudian berpisah. Betapa banyak yang menghabiskan malam dalam ketaatan kepada Allah, tetapi ketika matahari terbit, ia tak ingat lagi kepada-Nya. Hati sama seperti mata. Bukan keseluruhan mata yang bisa melihat, melainkan sebagian lensanya saja. Begitu juga dengan keadaan hati. Jadi, bagian hati yang memandang bukanlah bagian lahiriahnya yang berupa gumpalan daging, melainkan unsur lembut yang Allah letakkan di dalamnya. Unsur itulah yang bisa memandang dan menangkap.

Allah sengaja menempatkan hati bergantung kepada dada bagian kiri seperti ember. Jika dibebani oleh syahwat, maka ia akan bergerak dan kalau dibebani ketakwaan juga bergerak. Kadang-kadang lintasan nafsu atau syahwat yang lebih dominan, dan kadang-kadang lintasan takwa yang lebih dominan. Karena itulah kadang-kadang hati menyadari dan menerima karunia Allah dan kekuasaan-Nya. Kadang-kadang pada saat tertentu lintasan nafsu dapat dikalahkan oleh lintasan takwa sehingga hati pun memujimu.
Tetapi, di saat yang lain, lintasan takwa dikalahkan oleh lintasan nafsu sehingga hati pun mencelamu. Kedudukan hati bagaikan atap rumah. Jika engkau menyalakan api di dalam rumah, asapnya akan membumbung ke atap hingga membuatnya hitam. Seperti itulah api syahwat. Jika api syahwat berkobar dalam tubuh, maka asap-asap dosanya akan naik memenuhi hati dan menghitamkannya.”
---Ibnu Atha’illah dalam Taj Al-‘Arus


APAKAH HATIMU BERGETAR MENDENGAR PANGGILAN ALLAH?
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Satu tarikan dari tarikan-tarikan Allah Al-Haq sebanding dengan ibadah seluruh jin dan manusia.” Dalam hadis yang lain disebutkan: “Orang yang tidak punya rasa kasih sayang berarti hatinya tidak hidup.” Al-Junaid RA berkata, “Bila Allah menanamkan rasa kasih sayang di dalam batin manusia, maka akan muncul perasaan bahagia dan sedih.”
Allah SWT juga berfirman, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima Agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya sama dengan orang yang membatu hatinya. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (QS. Az-Zumar [39]: 22)

Getaran hati itu ada dua macam yaitu getaran hati jasmani dan getaran hati ruhani. Getaran hati jasmani adalah getaran hati yang didorong oleh hawa nafsu yang muncul dari kekuatan jasad, bukan dari tarikan kuat Ruhani. Contohnya, seperti riya’ (ingin diketahui orang) dan sum’ah (ingin dibesar-besarkan orang atau ingin terkenal). Ini semua hal yang batil karena keberadaannya masih berkisar pada diri. Getaran hati seperti ini tidak boleh diikuti.
Adapun getaran hati ruhani terjadi ketika kekuatan ruh bertambah karena tarikan (jadzbah) dari Allah SWT. Ini seperti bacaan Al-Quran dengan suara yang bagus atau puisi yang memiliki rima bagus atau berdzikir yang tembus sehingga jasad tidak mampu lagi bertahan dan tumbang. Gambaran seperti ini merupakan limpahan rahmat Allah SWT dan baik untuk diikuti.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar


MEMAHAMI ISYARAT CINTA ILAHI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda! Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya. Maka, hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi tamu-Nya.

Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla. Dialah yang seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan, tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani


BISIKAN JIWA (AL-KHATHIR) ORANG YANG WUSHUL
Sayyid Abu Bakar bin Syaikh Al-Saqqaf Ba Alawi bertanya, “Bagaimanakah hukum bisikan-bisikan yang melintas di hati orang yang washil (sudah sampai kepada Allah mendapat kedudukan di sisi Allah)? Apakah ia harus menolak bisikan-bisikan tersebut dan hanya bersandar kepada bisikan Allah, atau apa yang mesti ia lakukan?”
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, menjawab: “Pemilik kedudukan (washil) itu berbeda-beda tingkatan mereka. Orang yang mencapai kedudukan ini memiliki dua keadaan. Pertama disebut al-jama’; Kedua disebut al-farq. Jika seseorang mengalami keadaan yang pertama, yaitu al-jama’, ia akan fana terhadap dirinya dan orang lain, ia akan asyik tenggelam bersama Tuhannya dengan seluruh raganya. Saat itu, tidak ada lagi bisikan-bisikan yang datang, yang ada hanya Allah, Dzat Yang Mahaada.

Seseorang yang sudah mencapai kedudukan ini berkata,“Jika pada diriku terdapat bisikan keinginan selain kepada-Mu, yang muncul karena kealpaanku, maka kuputuskan kemurtadan diriku.” Maksud dari “kemurtadan” di sini adalah ‘Aku tidak tenggelam dan hanyut di dalam diri-Mu. Berarti dia tak lagi di maqam ini. 
Seseorang yang lain juga berkata, “Hatiku dipenuhi keinginan beragam lalu menyatu sejak mata keinginanku memandang-Mu.”
Adapun bisikan yang bermacam-macam itu muncul disebabkan oleh pikiran yang bercabang dan halangan yang banyak di dalam diri. Hal yang seperti ini tidak dialami oleh seseorang yang sudah wushul (sampai) kepada Allah, karena ia telah menyatukan pikiran dan kalbunya hanya kepada Allah semata. Keadaan ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, “Aku memiliki satu waktu yang aku isi hanya bersama Tuhanku.”

Keadaan semacam ini amatlah jarang dialami oleh seseorang, saat itu terjadi maka akan tampak hal-hal yang mengagumkan dan menakjubkan. Keadaan ini pernah dialami oleh beberapa masyayikh (para syekh besar) di Irak selama 7 tahun lamanya, lalu ia tersadar sejenak sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam keadaan ini selama 7 tahun berikutnya. Selama berada pada maqam ini, ia tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak shalat, akan tetapi tetap berdiri tegak di tanah lapang sambil menengadahkan pandangan matanya ke arah langit.
Kami juga pernah mendengar cerita tentang beberapa masyayikh di Mesir yang berwudhu lalu berbaring seraya berkata pada pendampingnya, “Jangan engkau bangunkan aku dari tidurku sampai aku sendiri yang akan bangun.” Ia pun tertidur hingga 17 tahun lamanya, lalu ia bangkit dari tidurnya dan shalat dengan wudhunya tersebut.

Para ‘arif billah merindukan keadaan al-jama’ ini. Sedangkan Allah SWT, karena rasa kasih sayang-Nya, memindahkan mereka dari keadaan ini. Agar mereka tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dan terhindar dari rusaknya fisik dan hancurnya persendian mereka. Karena, anugerah Allah berupa ilmu dan hikmah, jika sudah menguat dan menguasai, tidak akan sanggup kekuatan fisik manusia menanggungnya. Bukankah Gunung Al-Thur terbakar dan menjadi debu ketika cahaya anugerah Allah bersinar di atasnya?
Tidak benar pengakuan sebagian orang yang telah dikuasai oleh setan yang menyatakan bahwa mereka telah mencapai maqam al-jama’ ini. Sehingga kita menyaksikan mereka meninggalkan ibadah dan melalaikan kewajiban-kewajiban agama seperti puasa dan shalat. Di samping itu, mereka juga memperturutkan syahwat dan keinginan nafsu mereka serta melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Seandainya mereka adalah para wali Allah, seperti pengakuan mereka, niscaya Allah akan memelihara mereka dari hal-hal tersebut. Dan, seandainya mereka benar-benar hanyut dalam kefanaannya dengan Allah, niscaya mereka akan lenyap dari selain diri-Nya. 
Kami tidak akan memperpanjang pembicaraan, walaupun masalah ini adalah masalah yang sangat luas pembahasannya. Bahkan, banyak orang yang tergelincir pemahamannya saat membahas hal ini. Karena, ini termasuk masalah yang sangat rumit dan sulit dipahami oleh akal manusia, apalagi hanya dengan pikiran-pikiran belaka.

Mengenai keadaan farq, seseorang yang telah mencapai akan selalu mendapatkan perlindungan dari Allah dan penglihatan dengan pandangan inayah-Nya. Saat itulah, akan muncul bisikan Rabbani, yang disebut di kalangan sufi dengan istilah idzn (izin), dan bisikan malaikat, mereka menyebutnya sebagai ilham. Dan, mereka tidak melaksanakan bisikan-bisikan itu kecuali yang sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan hadis.
Adapun Al-khathir asy-syaaithani (bisikan setan), hal itu tidak ada pada diri mereka. Karena setan tidak sanggup mendekati hati orang yang sudah wushul (sampai) kepada Allah dan selalu disinari dengan cahaya makrifat kepada-Nya.
Bahkan, terkadang setan justru tunduk kepada orang-orang yang telah washil kepada Allah, seperti yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW. Rasul bersabda, “Aku juga mendapat (godaan) setan, namun Allah SWT menolongku atasnya, hingga ia menyerah dan tidak memerintah kecuali suatu kebaikan.”
Sedangkan mengenai al-khathir an-nafsani (bisikan nafsu), hal ini amat mustahil ada pada diri orang yang telah sampai (washul) kepada Allah. Karena jiwa orang yang wahsil, telah merasa tentram dan tenang bersama Allah, serta senantiasa dekat dan tunduk hanya kepada-Nya. Allah menyeru serta memanggilnya, hingga jiwa itu datang dan kembali kepada-Nya. Lalu, Allah memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya dan menempatkan mereka di dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dan hanya disedikan untuk hamba-hamba yang bertakwa.”
-- Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais Al-‘Uluwiyyah fi Masail Ash-Shufiyyah.


KEDAHSYATAN SIKAP TAWAKAL
Tawakal merupakan perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Jika hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan menderita. Sebab, tawakal tidak bukan hanya penunjukkan sikap kepasrahan yang tidak beralasan, tapi tawakal juga harus terlebih dahulu dan didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari makna tawakal itu.
Rasulullah SAW adalah pekerja keras, pemimpin yang sangat cerdas, pengusaha hebat dan panglima perang yang tangguh. Tapi, beliau selalu menggantungkan sikap tawakalnya hanya kepada Allah. Karena itu beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai rasa tawakalnya kepada Allah SWT:


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه مسلم)


Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin dan manusia mati. (HR. Muslim)


Rasulullah SAW juga bersabda: 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري(


Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
Sikap tawakal yang dilakukan secara kuat dengan keyakinan dan keimanan yang hebat justru merupakan kekuatan mahadasyat. Kepasrahan kepada Allah adalah jalan satu-satunya yang dapat menyelamatkan, mengamankan, membahagiakan dan memenangkan. Alkisah. Pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Tiba-tiba datang seorang musyrik yang mengambil pedang beliau sambil berkata, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab, “ALLAH.” Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, “sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?”
Rasulullah SAW juga pernah bersabda:


عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)

Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR. Tirmidzi)
Usaha dan doa adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang yang mengaku bertawakal, namun tanpa memiliki usaha apa pun maka dia sebenarnya telah berdusta pada dirinya sendiri. Sebagai seorang hamba, kita tetap memiliki kewajiban untuk berusaha dan berkerja, serta menggantungkan keputusan dan hasilnya pada Allah Yang Maha Berkehendak.


Rasulullah SAW juga bersabda:

عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه الترمذي)


Dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah SAW, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Renung-renungkanlah, Pikir-pikirkanlah!


BOLEH JADI, DOA ORANG ARIF PUN TAK DIKABULKAN
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Seorang yang Arif itu tidak dikabulkan setiap kali dia meminta (berdoa) kepada Tuhannya. Tidak dikabulkannya itu agar sang arif tersebut tidak dikalahkan oleh sifat pengharapan, yang dapat menyebabkan dia menjadi binasa karenanya. Sesungguhnya, tak ada satu pun derajat atau maqam yang tidak terdapat sifat takut (khauf) dan berharap (raja’) di dalamnya.
Kedua sifat tersebut seperti dua sayap burung, dan keimanan belum dianggap sempurna jika tanpa kedua sifat tersebut. Begitu pula maqam-maqam (dalam tasawuf). Namun, sikap khauf dan raja’ itu sesuai dengan situasi dan keadaan.
Seorang yang Arif itu adalah orang yang diberi kedekatan (oleh Allah) dan dia berusaha untuk mendekat. Adapun keadaan dan tingkatannya adalah dia tidak menginginkan sesuatu pun selain Allah SWT; tidak bersandar kepada selain-Nya dan tidak merasa tenang kepada selain Allah. Serta tidak mau bersenang-senang dengan selain-Nya. Dia hanya mencari terkabulkannya permintaan dan terpenuhinya janji selain yang dia alami dan yang sesuai dengan dirinya.
Maka, dalam keadaan tersebut, terdapat dua hal; Pertama, agar dia tidak dikalahkan oleh sifat berharap dalam dirinya dan tertipu dengan daya upaya Allah yang dapat menyebabkan dia binasa; Kedua, agar hamba tersebut tidak menyekutukan Tuhannya Azza wa Jalla dengan sesuatu pun selain-Nya. Karena, tidak seorang pun ma’sum di dunia ini, selain para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Jadi, Allah SWT tidak mengabulkan atau tidak menepati (permohonannya) agar dia tidak meminta seperti biasanya dan menginginkan sesuatu yang biasa terjadi, dan bukan pula karena sekadar mengikuti perintah-Nya. Sebab, dalam keadaan ini terdapat unsur syirik. Dan, syirik adalah dosa besar dalam semua keadaan, dalam semua rahasia maqam, dan dalam seluruh ajaran (para nabi) terdahulu.
Adapun, jika permohonan tersebut merupakan suatu perintah, maka hal tersebut adalah sesuatu yang dapat menambah kedekatan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan selainnya dalam ibadah fardhu ataupun sunnah. Karena, pada keadaan ini, seorang hamba sebenarnya adalah seorang yang sedang mengikuti perintah-Nya (bukan mengikuti nafsunya).”


SABAR DAN SYUKUR SEBAGAI JALAN TAWAKAL 
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Wahai anakku, hendaklah engkau mempelajari ilmu dan bersikap ikhlas sehingga engkau bersih dari perangkap dan tali kemunafikan. Carilah ilmu karena Allah Azza wa Jalla, bukan karena makhluk atau karena dunia. Dan, ciri pencari ilmu karena Allah adalah, engkau merasa takut kepada Allah ketika datang perintah dan larangan-Nya. Engkau merasa takut dan hina di hadapan-Nya. Lalu, bersikap rendah hati terhadap makhluk tanpa membutuhkannya. Tidak berambisi terhadap apa yang mereka miliki.

Dan, bersahabatlah di jalan Allah, dan bermusuhanlah di jalan Allah. Sebab, persahabatan bukan di jalan Allah adalah permusuhan. Keteguhan selain di jalan Allah adalah kehancuran. Serta, pemberian bukan di jalan-Nya akan terhalang. Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu terdiri dari 2 bagian; satu bagian sabar dan satu bagian syukur.”
Jika engkau tidak bersabar atas siksaan dan tidak mensyukuri nikmat, berarti engkau bukan termasuk orang yang beriman. Di antara hakikat Islam adalah mau berserah diri kepada Allah. 
Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menyediakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka,” (QS 65; 2-3)

Karena itu, berdoalah!
“Ya Allah, hidupkanlah hati kami dengan tawakal kepada-Mu, dengan ketaatan kepada-Mu, dengan mengingat-Mu, dengan menyesuaikan diri kepada-Mu dan dengan kekuatan tauhid kepada-Mu.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani

TAKWA DAN HAKIKAT DIRI MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada pembukaan Surah An-Nisa dalam Tafsir Al-Jailani mengatakan:
“Sungguh! Tidaklah tersembunyi bagi para Ahli Tauhid yang merenungi bagaimana Keesaan Dzat dapat meluas menjangkau pelbagai lembaran entitas yang bersifat mumkin (tidak mutlak), fana` (tidak kekal), dan berbatas, bahwa al-Haqq jalla jalâluh wa 'amma nawâluh –sesuai dengan ketunggalan Zat-Nya- selalu memanifestasi di setiap butir zarah yang ada di alam terkecil sekali pun, berdasarkan isti’dad (kesiapan) dan potensi pada alam untuk memansifestasikan semua sifat dan asma-Nya dalam kegaiban huwiyah (identitas kedirian)-Nya.

Adapun manifestasi paling sempurna yang menghimpun semua jejak asma dan sifat-sifat Ilahiah secara detail tidak lain adalah Insan Kamil, Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Allah telah menciptakannya sesuai dengan citra-Nya, mengangkatnya menjadi khalifah di antara semua makhluk-Nya, memuliakannya di atas semua ciptaan-Nya, serta menganugerahinya berbagai kebaikan makrifat dan hakikat-Nya.
Zat Allah secara langsung mematangkannya, dan Dia pula yang memelihara dengan mengirimkan rasul-rasul serta menurunkan kitab-kitab suci-Nya agar darinya dapat termanifestasi segala kesempurnaan yang telah tersemat di dalam dirinya, yang merupakan manifestasi dari semua al-asmâ` al-husnâ dan ash-shifât al-ulyâ milik Allah. Sehingga ia layak bersemayam di martabah khilafah (sebagai khalifah Allah) dan niyabah (sebagai wakil Allah), serta menetap di tataran tauhid.
Itulah sebabnya Allah menyeru hamba-hamba-Nya sebagai nikmat bagi mereka agar mereka mau menerimanya, dan Allah berwasiat kepada mereka untuk bertakwa agar mereka menjadikan takwa sebagai pelindung dan lambang kehormatan. 
Dengan nama Allah yang telah menunjukkan kepada orang yang Dia tunjuk sebagai khalifah, semua kesempurnaan-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya; Allah Maha Pengasih kepada sang khalifah dengan menghamparkan tingkatannya dan mewariskan martabah-nya; Allah Maha Penyayang kepadanya dengan memberinya petunjuk tentang tempat asalnya dan juga tempat kembalinya.
Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan Dia menciptakan darinya isterinya; dan Dia memperkembang-biakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian.” (QS An-Nisa: 1)

Wahai sekalian manusia, yang melupakan tempat asal yang sejati dan tempat tinggal yang hakiki, disebabkan gemerlap dunia yang menghalangi pencapaian kepadanya, kalian harus berhati-hati terhadap godaan-godaannya, dan kalian harus menghindari khayalannya, agar kalian tidak terjatuh dari martabah kalian yang sejati dan dari tempat kalian yang hakiki.
Bertakwalah hindarilah (dunia) dan carilah perlindungan kepada Tuhan kalian yang telah memelihara kalian dengan pemeliharaan terbaik. Dia telah menciptakan kalian. Dialah yang pertama menampilkan atau mengadakan (menciptakan) kalian dari diri yang satu, yaitu martabah fa’al yang meliputi semua martabah al-kauniyah (kosmis) dan al-kiyaniyah (entitas). "Diri yang Satu" ini tidak lain adalah al-Marâtib al-Jâmi'ah al-Muhammadiyyah yang disebut dengan nama al-'Aql al-Kulliy (Akal Universal) atau al-Qalam al-A'lâ (Pena Tertinggi), yang menyempurnakan batin dan aspek kegaiban kalian.

Dia menciptakan darinya melalui Perkawinan Simbolis (an-Nikâh al-Ma'nawiy) dan Pernikahan Hakiki (az-Zawâj al-Haqîqiy) yang terjadi antara berbagai sifat dan asma Ilahiah, isterinya, yaitu an-Nafs al-Kulliyyah (Jiwa Universal) yang siap menerima limpahan berbagai jejak yang muncul dari Awal yang Terpilih (al-Mabda` al-Mukhtâr) yang akan menggenapi aspek lahiriah dan penampakan kalian, sehingga manusia layak menjadi khalifah dan wakil Allah sesuai dengan lahir dan batin mereka; 
Dan, setelah keduanya menjadi pasangan "suami-istri", Allah juga memperkembang-biakkan, menghamparkan dan menyebarkan dari keduanya juga dari "pernikahan" yang disebutkan tadi laki-laki yang banyak. Maksudnya, laki-laki berbagai fâ'il (subjek aktif) yang melimpahkan berbagai limpahan. Dan, “perempuan” sebagai qâbil (penerima pasif) yang menerima berbagai limpahan. Masing-masing dengan perbedaannya pada berbagai detail munâsabah (saling bergantung, saling membutuhkan dan saling mengasihi) yang muncul di antara tajaliyat al-hubbiyyah (tajalli cinta) sebagaimana yang dijelaskan oleh kitab-kitab suci dan para rasul.

Ketika Allah sang Pemilik (rabb) berbagai asma yang bermacam ragamnya sesuai dengan keragaman makhluk (marbûb) menyatakan dengan gamblang tentang ketuhanan-Nya yang mencakup semua sifat dan asma tanpa kerancuan sama sekali, untuk menegaskan perintah agar makhluk-Nya bertakwa, Dia pun berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah”, ini dimaksudkan agar kita berhati-hati dari segala yang dapat menyibukkan kita dari Allah subhânahu wa ta'âlâ, sebab Dia lebih dekat dengan kalian dibandingkan urat leher kalian sendiri.
Karena Dia yang kalian saling bertanya dan saling bersaing dengan-Nya. Kalian sering menduga-duga bahwa Dia jauh, disebabkan terlalu dekatnya Dia. Maka, peliharalah hubungan kekeluargaan yang lahir dari Perkawinan Simbolis dan Pernikahan Cinta sebagaimana yang telah dijelaskan-Nya. Sesungguhnya Allah yang Maha Meliputi kalian dan semua keadaan kalian. Sesungguhnya Allah terhadap kalian selalu mengawasi dan menjaga. Dia menjaga kalian dari segala yang tidak berguna bagi kalian jika kalian bertawajuh kepada-Nya dengan ikhlas.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani, terj. Tim Markaz Al-Jailani.


MENGHADAPI MUSIBAH DAN KESULITAN HIDUP 
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Untuk mengatasi kendala yang disebabkan oleh musibah dan kesulitan hidup yang menimpa, cukup bagimu untuk bersabar. Bersabarlah dalam semua ikhwal kehidupan!

Pentingnya bersabar didorong oleh dua alasan:
Pertama, agar sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab, fondasi ibadah adalah kesabaran dan tahan terhadap berbagai kesulitan hidup. Siapa yang tak mampu bersabar, maka dia tidak akan sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala pasti menghadapi berbagai kesukaran hidup, ujian dan musibah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
1) Setiap bentuk ibadah dan ketaatan itu sendiri mengandung berbagai kesukaran. Tak ada ibadah yang dilakukan tanpa menekan hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu selalu berusaha mencegah seseorang untuk beribadah dan taat kepada Allah.
2) Setelah mengerjakan kebaikan dengan susah payah, seorang hamba harus berhati-hati menjaganya, agar ibadahnya itu tidak rusak. Karena, istikamah dan menjaga amal ibadah itu lebih sukar daripada mengerjakan amal pada kali pertama.
3) Dunia ini tempat ujian, maka siapa saja yang berada di dalamnya pasti akan mendapat ujian dengan berbagai kesulitan dan musibah.
4) Orang-orang yang lebih memilih akhirat daripada dunia itu akan mengalami cobaan yang lebih parah dan lebih banyak. Semakin ia dekat kepada Allah, maka musibah dan ujian dunia akan lebih banyak dan lebih keras menerpanya. Sebagaimana sabda Rasul, “Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para ulama, kemudian orang yang terbaik dan kemudian orang yang terbaik di bawahnya.” Allah SWT berfirman, “Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian. Dan (juga) kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian serta dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak, yang akan menyakitkan hati,”(QS Ali Imran: 186). Maka persiapkan diri kalian karena pasti kalian akan mengalami banyak ujian!

Kedua, karena di dalam kesabaran terkandung nilai kebaikan dunia dan akhirat. Di antaranya adalah keselamatan dan kesuksesan. Siapa yang bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, maka Dia akan menjadikan jalan keluar bagi hamba tersebut dari berbagai bentuk kesukaran yang menimpanya. Keuntungan lain yang diperoleh dari sikap sabar adalah ia akan lebih mudah untuk diterima menjadi pemimpin ataupun pembimbing di masyarakat luas.
Allah juga berfirman, “Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Huud: 49) Allah berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yangmemberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabdar,” (QS As-Sajdah: 24)
Sesorang yang bersabar juga akan memperoleh kabar gembira, doa dan rahmat dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun/ sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 155-156)

Orang yang bersabar akan mendapat pujian khusus dari Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran kepada Nabi Ayyub. Mereka yang bersabar juga akan sangat dicintai Allah Azza wa Jalla. “Allah mencintai orang-orang yang bersabar,” (QS Ali Imran: 146). Mereka akan hidup dalam kemuliaan yang besar di sisi Allah, mendapat pahala yang berlimpah, tak terbatas dan di luar yang dibayangkan oleh manusia. 
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahala mereka tanpa batas, “ (QS Az-Zumar: 10)

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang mampu bersabar! Setelah mengetahui kebaikan dan manfaat dari sabar ini, maka tanamkanlah kebaikan sabar itu dalam kalbumu! Cobalah dengan keras untuk bisa memiliki sifat mulia ini sehingga kalian menjadi orang yang sukses (beruntung). Semoga Allah SWT memberi kalian taufik.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidiin


HINDARI CINTA BERTEPUK SEBELAH TANGAN
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Syarat cinta adalah engkau mempunyai keinginan bersama Dzat Yang kaucintai. Lalu, engkau tak berpaling dari-Nya, baik karena dunia, akhirat ataupun makhluk. Kecintaan kepada Allah bukanlah sesuatu yang ringan sehingga bisa diklaim oleh setiap orang.
Betapa banyak orang yang mengklaim cinta kepada Allah, tetapi justru jauh dari-Nya? Begitu banyak orang yang tidak mengklaim cinta kepada Allah, tetapi justru ada di sisi-Nya?
Maka, janganlah meremehkan seorang Muslim pun, sebab berbagai rahasia Allah tersebar pada mereka. Bersikaplah tawadhu dan jangan bersikap takabur atas hamba-hamba Allah. Sadarilah kelalainmu! Sebab engkau tidak lain kecuali berada dalam kelalaian yang sangat parah; seolah-olah shirat benar-benar telah terperikan dan tergambarkan pada dirimu dan seolah-olah engkau telah melihat tempatmu di surga. Ini sebuah keterpedayaan yang sangat luar biasa.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani


MARI BERSIHKAN CERMIN HATI KITA
"Kalbu yang mengenal Allah seperti cermin milik pengantin wanita yang cantik. Setiap hari ia bersihkan cermin tersebut dan ia pakai sehingga tetap bening dan mengkilat."
---Syekh Ibnu Atha'illah

Bagaimana mungkin hati ini dapat menampung cahaya Ilahi, jika hati yang kita diselubungi debu. Kita harus terus membersihkan cermin jiwa setiap saat dan berkaca pada diri sendiri.Dengan begitu, hati akan tetap terjaga dari noda dan dosa, serta siap menerima pancaran cahaya Ilahi.Mari bercermin setiap saat, agar kita tahu baik-buruk, indah-jelek, jauh-dekat, sesuai-tak sesuai diri kita. Semoga bermanfaat!
“Wahai Tuhan,bersihkanlah dariku seluruh kesalahanku dengan air dari salju dan hujan,sucikan kesalahan-kesalahan dari hatiku sebagaimana Engkau menyucikan kotoran dari kain putih,dan bebaskanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engkau telah menghilangkan timur dan barat.” (H.R.Bukhari)



SEBENARNYA KITA PEMBERANI ATAU PEMARAH?
Sahl ibn Mu‘adz meriwayatkan dari ayahnya bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa yang menahan marah, padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah akan memujinya dan membanggakan orang itu di hadapan makhluk-makhluk di hari kiamat. Hingga akhirnya ia dipersilahkan untuk memilih bidadari yang ingin dipersuntingnya.” (HR al-Tirmidzi dan Abu Dawud). 
Alkisah. Ketika ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz hendak menyadarkan orang yang sedang mabuk, maka pemabuk itu justru menamparnya.

Pemabuk itu terus menamparnya, lalu beliau kembali ke rumahnya. Seseorang bertanya kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah karena orang itu telah menamparmu, lalu engkau meninggalkannya?” Beliau menjawab, “Karena orang itu telah membuatku marah. Saya khawatir, jika saya menyadarkannya, maka hal itu didasarkan karena kemarahanku kepadanya dan saya tidak suka memukul orang lain karena membela diri.”
Lukman berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, ada tiga hal yang hanya dapat diketahui dengan tiga hal lainnya. Pertama, seseorang tidak akan diketahui sebagai orang lemah lembut, kecuali saat menghadapi kemarahan. Kedua, seseorang tidak akan diketahui sebagai pemberani, kecuali saat berperang. Ketiga, seseorang tidak akan diketahui sebagai orang yang peduli kepada sesamanya, kecuali saat diminta bantuan oleh orang lain

NASEHAT BIJAK PENGHUNI LANGIT
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Di antara hamba-hamba Allah ada sedikit individu yang menghindari berteman dengan makhluk dan menemukan persahabatan yang akrab di tempat-tempat menyepi (khalawât). Mereka menikmati keakraban seperti itu dalam membaca Al-Quran dan membaca sabda-sabda Rasul SAW maka mereka lalu memiliki hati yang sangat akrab dengan makhluk dan dekat dengan mereka, dan dengan yang dengannya mereka melihat diri rendah mereka sendiri (nufûs) dan diri-diri rendah orang lain. Hati mereka sehat, sehingga tak sesuatu pun yang engkau kejar tersembunyi dari mereka. Mereka bisa berbicara tentang apa yang kalian pikirkan dan kalian rasakan, dan mereka bisa mengatakan kepada kalian mengenai situasi di rumah-rumah kalian.

Celakalah kalian! Gunakanlah akal sehat kalian! Janganlah kalian bersaing dengan manusia-manusia (pilihan Tuhan) dalam kejahilan kalian. Setelah kalian selesai dari (mengkaji) Al-Kitab, kalian akan bangun dan berbicara kepada orang banyak. Setelah hitamnya tinta mengenai pakaian dan badan kalian, dan setelah merenung dengan cermat, kalian akan berbicara kepada orang banyak. Ini adalah masalah yang menuntut kemampuan lahir dan kemampuan batin, kemudian kebebasan dari semua keterikatan.”
Wahai kalian yang begitu lalai akan apa yang dituntut dari kalian, ingatlah akan Kiamat Khusus (al-qiyâmat al-khâshshah) dan Kiamat Umum (al-qiyâmat al-ʽâmmah). Kiamat Khusus adalah kematian masing-masing kalian sebagai individu, sedangkan Kiamat Umum adalah kiamat yang telah dijanjikan Allah kepada semua makhluk-Nya. Kalian harus ingat dan merenungkan firman Allah: “Pada hari ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada (Tuhan) Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat; dan Kami akan menggiring orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga (QS Maryam (19):85-86).
Sunguh gerombolan yang kelelahan dan kehausan! Orang-orang yang bertakwa akan dikumpulkan, tetapi orang-orang yang durhaka dan berdosa akan digiring bagaikan gerombolan binatang ternak. Semoga Allah berbelas kasih kepada hamba-Nya yang mengingat hari itu, dan menjadikannya termasuk ke dalam kalangan orang-orang bertakwa bahkan sekarang ini, pada hari ini, sehingga dia bisa dikumpulkan bersama-sama dengan mereka manakala hari itu datang. Wahai kalian yang telah meninggalkan ketakwaan!
Pada Hari Kiamat nanti orang-orang yang bertakwa akan dikumpulkan kepada Yang Maha Pengasih sebagai rombongan yang baik, berkendara bersama para malaikat, sementara amal-amal baik mereka mengambil bentuk yang nampak di sekeliling mereka. Masing-masing dari mereka akan memiliki kuda berdarah murni (najîb) untuk dikendarainya, dan kuda itu adalah amalnya, sementara serbannya adalah ilmunya. Amal-amal perbuatan yang baik akan mengambil bentuk yang menarik, sementara amal yang buruk akan mengambil bentuk yang buruk.
Kunci kepada ketakwaan adalah tobat dan kesabaran dalam menjalaninya. Demikian juga, tobat adalah kunci kepada kedekatan dengan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung.

Tobat adalah akar maupun cabang dari semua yang baik. Inilah sebabnya orang-orang yang saleh tidak pernah membiarkan diri mereka disimpangkan darinya dalam situasi dan kondisi bagaimana pun. Bertobatlah, wahai kalian yang selalu kembali kepada kejahatan, wahai para pembangkang yang berdosa! Berdamailah dengan Tuhanmu dengan cara bertobat.

Kalbu ini tidak berharga bagi Tuhan Yang Maha Benar selama ia masih berisi satu atom pun dari dunia ini dan kerinduan sedikit pun kepada makhluk. Karena itu jika kalian ingin menjadikannya sehat, kalian harus mengusir keluar keterikatan-keterikatan ini dari hati kalian. Ini tidak akan menimbulkan kerugian atau pun bahaya bagi kalian. Sebab, begitu kalian telah berkontak dengan-Nya, dunia ini dan sesama makhluk akan datang kepada kalian, sementara kalian berada bersama-Nya, di pintu-Nya. Ini adalah sesuatu yang telah diuji kebenarannya oleh pengalaman. Ini telah dialami sebagai fakta oleh mereka yang mengamalkan zuhud, meninggalkan dunia dan mencegah diri dari yang haram (az-zâhidîn at-târikûn al-mutawarriʽûn).” 
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar