Rabu, 03 Juni 2015

HIKMAH 1


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Wahai engkau yang mengabdi dengan tulus kepada Tuhan, tanpa melakukan kemusyrikan terhadap-Nya, engkau harus mendekati pintu Tuhanmu dan mengambil posisimu di sebelah-Nya. Engkau tidak boleh mencoba lari manakala datang nasib yang malang. Apabila engkau telah mengambil posisimu di pintu-Nya, dan malapetaka mengancam untuk menyusulmu dari belakangmu, engkau harus berpegang kuat-kuat pada pintu itu, sebab dengan demikian malapetaka itu akan terusir darimu oleh kekukuhan tauhidmu dan sifat benarmu yang menggetarkan.
Karena itu, manakala nasib malang mengancam akan menyusulmu, engkau harus mempraktikkan kesabaran dan ketabahan, sambil membaca firman-Nya: “Dan Allah mengukuhkan mereka yang beriman dengan ucapan yang kukuh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat (QS Ibrâhîm (14) : 27). “Maka Allah akan memelihara kamu dari neraka. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui,” (QS Al-Baqarah (2):137).
Engkau juga harus sering-sering mengucapkan kata-kata (Nabi Saw.): “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm).”
Engkau harus sering-sering memohon ampun (istighfâr), mensucikan (tasbîh) Tuhan, dan mengingat-Nya dengan ketulusan yang jujur (shidq). Jika engkau melakukan ini semua, engkau akan aman dari tentara bencana dan bala tentara diri-diri rendah (nufûs), hawa nafsu (hawâ) dan setan.
Betapa sering aku berusaha membuatmu menyadari, tetapi tetap saja engkau tidak memahami masalahnya..“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka sungguh dia adalah orang yang terbimbing lurus (QS Al-A‛râf (7) :178)
“Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka sungguh tidak ada pemandu baginya (QS Al-A‛râf (7):186). “Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada orang yang akan dapat menyesatkannya (QS Al-Zumar (39) : 37).
Nabi kita Muhammad Saw. tetap berharap bahwa mereka yang telah tersesat bisa menerima petunjuk yang benar, dan beliau sangat menginginkan hal ini sehingga Allah mewahyukan kepada beliau: “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang membimbing siapa yang dikehendaki-Nya (QS Al-Qashash (28) : 56).
Ketika itulah beliau Saw. berkata: “Aku telah diutus untuk menawarkan petunjuk, tetapi (penerimaan) petunjuk itu tidak ada kaitannya denganku. Dan iblis menyediakan godaan, tetapi penyimpangan dari jalan yang benar tidak ada kaitannya dengan dia.”
Adalah keyakinan yang kuat dari orang-orang yang mengikuti kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Saw. bahwa pedang tidaklah memotong karena sifatnya, tetapi bahwa Allah-lah yang memotong dengannya; bahwa api tidaklah membakar karena sifatnya, tetapi Allah-lah yang menggunakannya untuk membakar; bahwa makanan tidaklah menghilangkan rasa lapar dikarenakan sifatnya, tetapi Allah-lah yang menggunakannya untuk menghilangkan rasa lapar kita; bahwa air tidaklah menghilangkan rasa haus dikarenakan sifatnya, tetapi Allah-lah yang menghilangkan rasa haus kita dengannya. 
Begitu pula dengan semua sarana material dalam berbagai bentuknya. Allah adalah yang mengendalikan dan menggunakannya, sementara sarana-sarana tersebut hanyalah alat di tangan-Nya, yang dengannya Dia melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya.
Ketika Ibrahim a.s., sahabat khusus Allah, dilemparkan ke dalam api besar yang berkobar-kobar, dan Tuhan tidak menghendaki dia terbakar hangus oleh panasnya, maka Dia memberlakukan kepadanya keadaan dingin dan damai. Kita tahu, dari hadis shahih yang telah sampai kepada kita, bahwa Nabi Saw. pernah mengatakan: “Pada hari kiamat nanti, neraka akan berkata: “Lewatlah, wahai orang beriman, sebab cahayamu telah memadamkan kobaran apiku!”

Seorang budak mungkin perlu dipukul dengan tongkat, tetapi anggukan kepala saja sudahlah cukup untuk mengatakan kepada seorang merdeka apa yang diminta darinya.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

SAKARATUL-MAUT DAN CARA MENGHADAPINYA

Imam Al-Ghazali mengatakan:

“Ketahuilah, sesungguhnya yang disukai dari orang yang sedang mendekati ajalnya adalah ketentraman dan ketenangan. Dari lidahnya terucap dua kalimat syahadat dan dari hatinya ia berprasaka baik kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Perhatikanlah 3 hal yang terdapat pada orang yang sedang dalam keadaan sakaratul-maut; Jika keningnya berkeringat, berair kedua matanya, dan kering kedua bibirnya,berarti rahmat Allah telah turun kepadanya. Tetapi, jika ia kelihatan seperti orang yang tercekik, memerah warna kulitnya, dan pucat kedua bibirnya, maka itu adalah akibat azab Allah kepadanya.” (HR At-Tirmidzi)
Lidah yang lancar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah tanda yang baik dalam menghadapi kematian. Abu Sa’id Al-Khudri menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tuntunlah kepada orang-orang yang hendak mati dengan kalimat La Ilaaha illa Allah.”
Pada riwayat yang lain, Hudzaifah juga menuturkan, “Sesungguhnya kalimat tersebut akan menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya.”
Sahabat Utsman bin Affan r.a. mengatakan, “Barangsiapa mati dalam keadaan yakin bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.” Ubaidillah mengatakan, “wa huwa yashadu (dan dia bersaksi).”
Sahabat Utsman r.a. mengatakan, “Apabila seseorang menjelang ajalnya, maka tuntunlah ia dengan membaca La ilaha illa Allah. Sebab, setiap orang yang mengakhiri hidupnya dengan kalimat tersebut, itu akan menjadi bekalnya menuju surga.”
Sahabat Umar r.a. mengatakan, “Tungguilah orang-orang yang akan mati di antara kalian, dan ingatkanlah mereka. Sesungguhnya mereka itu bisa melihat sesuatu yang tidak bisa kalian lihat. Tuntunlah mereka membaca La ilaha illa Allah.”
Abu Huraira meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Malaikat maut menghampiri seseorang yang akan mati. Lalu, ia akan memerhatikan hati orang tersebut, namun ia tidak akan mendapati apa pun di dalamnya. Ia lalu membuka sepasang bibirnya, dan mendapati ujung lidahnya menempel pada langit-langit mulutnya seraya mengucap La ilaha illa Allah. Ia lalu diampuni berkat kalimat ikhlas itu.” (HR Ibnu Abi Dunya, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Orang yang sedang menuntun (talqin) sebaiknya jangan bernada mendesak/memaksa. Tetapi, harus dengan cara yang halus dan lembut. Sebab, lidah orang yang sedang dituntun itu kadang berat untuk berkata-kata lagi, sehingga jika dipaksa justru akan semakin membebaninya, dan boleh jadi akan membuatnya tidak mau untuk menirukan ucapan yang baik tersebut.
Sesungguhnya makna kalimat tersebut adalah agar ketika seseorang hendak meninggal duna, di dalam hatinya tida ada sesuatu pun selain Allah. Dan, jika satu-satunya yang dicari olehnya hanya Allah Yang Mahaesa dan Mahabenar, maka kedatangannya kepada Allah akan menjadi puncak kenikmatan.
Sebaliknya, jika hatinya masih diliputi perasaan cinta kepada duniawi, maka meskipun kalimat syahadat tersebut berada di ujung lidahnya, tapi tidak menembus ke dalam hatinya, dan nasibnya akan bergantung kepada kehendak Allah. Karena, gerakan lidah saja tidak membawa faedah apa-apa, kecuali jika Allah berkenan menerimanya.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Dzikir al-Maut wa Ba’dahu, Ihya Ulumuddin.
3 JENIS MANUSIA MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Ketahuilah, sungguh, orang yang tenggelam dalam urusan duniawi yang penuh dengan tipu daya, dan mencintai kesenangan-kesenangannya, pasti kalbunya akan lalai untuk mengingat kematian. Akibatnya, jika diingatkan tentang kematian, ia justru tidak suka, bahkan membencinya.
Mereka ini, persis seperti orang yang disindir dalam Al-Qur’an: ”Katakanlah: ‘Sesungguhnya maut yang kalian lari darinya pasti akan menjumpai kalian, lalu kalian semua akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui segala yang gaib dan nyata. Kemudian, Dia akan memberitahukan kepada kalian apa-apa yang kalian lakukan.” (QS Al-Jumuah: 8).
Manusia pada dasarnya terbagi menjadi 3 golongan, yakni: orang yang tenggelam dalam urusan duniawi, orang yang bertobat, dan orang yang telah mencapai maqam ‘arif.
Pertama: Orang yang tenggelam dalam urusan duniawi tidak akan ingat tentang kematian. Dan, kalaupun dia mengingatnya, pasti ia lakukan sambil mengingat dunianya. Ini akan membuatnya semakin jauh dari Allah.
Kedua: Orang yang bertobat itu akan memperbanyak mengingat kematian, sehingga dalam kalbunya lahir rasa takut dan gentar. Hal ini akan semakin menguatkan kesempurnaan tobatnya. Boleh jadi, dia merasa takut pada datangnya kematian, tapi hal tersebut lebih didorong oleh rasa takut bahwa kematian itu akan datang di saat tobatnya dirasakan belum sempurna, dan bekalnya untuk kehidupan akhirat belum cukup. Rasa takut mati pada orang seperti itu masih bisa dimaklumi, dan dia tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang disebut dalam sabda Rasulullah, “Barangsiapa tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Orang-orang seperti ini sebenarnya tidak membenci pertemuan dengan maut atau pertemuan dengan Allah. Tapi, dia hanya takut jangan-jangan dia bertemu dengan Allah dalam keadaan yang kurang sempurna dan lalai. Dia laksana orang yang terlambat bertemu dengan kekasihnya, karena sibuk mempersiapkan diri supaya pertemuan itu mendatangkan kecintaan sang kekasih. Jadi, dia tidak bisa dianggap keberatan terhadap pertemuan tersebut.
Ciri khas orang yang bertobat adalah fokus pada persiapan untuk pertemuan dengan Rabb-nya dan mengurangi perhatian kepada hal-hal yang lain. Kalau tidak seperti itu, berarti dia termasuk orang yang tenggelam dalam urusan duniawi semata.
Ketiga: Orang yang ‘Arif adalah orang yang selalu mengingat kematian, karena baginya kematian adalah saat bertemu dengan Sang Kekasih. Dan, orang yang telah dimabuk cinta tak akan pernah lupa dengan janji bertemu dengan orang yang dicintainya. Orang seperti itu biasanya merasakan datangnya kematian begitu lambat, dan dia sangat gembira saat kematian datang. Sebab, dengan begitu dia bisa segera meninggalkan dunia, tempat tinggal orang-orang durhaka. Dia lebih memilih untuk berada di sisi Rabb semesta alam.
Hal ini seperti hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah. Menjelang kematiannya, Hudzaifah-Al-Yamani mengatakan: “Sang Kekasih datang kepada orang yang papa (lemah). Dan, tidaklah beruntung orang yang baru menyesal pada saat seperti itu. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa miskin lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan mati lebih aku sukai daripada hidup, tolong mudahkanlah kematianku supaya aku bisa segera bertemu dengan-Mu.”

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Dzikir al-Maut wa Ba’dahu, Ihya Ulumuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar