Jumat, 15 Februari 2019

LIMA KENDALA MERAIH PENGETAHUAN ILAHI

KALBU ITU IBARAT CERMIN

Dalam kitab Aja’ib al-Qalb, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa kalbu manusia itu adalah tempat (wadah) ilmu, yakni bagian halus (al-lathifah) yang mengatur seluruh anggota tubuh manusia. Kalbu yang halus (qalb) inilah yang dipatuhi dan yang dilayani oleh seluruh anggota tubuh. Jika dikaitkan dengan hakikat segala pengetahuan, maka kalbu itu seperti cermin yang terkait dengan bentuk dan wujud sesuatu.

Dengan kata lain, gambar atau wujud tersebut akan tampak jika diletakkan di depan cermin. Dengan cara yang sama kalbu kita menerima warna atau sifat dari suatu obyek yang tidak dikenal dalam sebuah pengetahuan. Masing-masing pengetahuan memiliki hakikat. Dan, hakikat itu memiliki bentuk yang terpatri di dalam cermin kalbu, dan tampak jelas di dalamnya.

Seperti orang yang melihat atau mengetahui kobaran api, ini tidaklah berarti api itu berada di dalam kalbunya. Tapi, yang ada di kalbunya hanyalah batas dan hakikatnya sesuai dengan bentuk dan gambarnya. Karena itu, menggambarkan kalbu seperti cermin adalah sangat tepat. Sebab, zat manusia itu sendiri tidak berada di dalam cermin. Yang ada adalah bayangan yang cocok dengan manusianya. Demikian pula adanya keadaan sesuai dengan hakikat pengetahuan di dalam kalbu yang kita namakan sebagai ilmu.

Menurut Imam Al-Ghazali terdapat rintangan dan kendala yang dapat mencegah gambaran nayata di dalam cermin kalbu kita. Gambar pada cermin itu tidak tampak atau tidak begitu jelas ditangkap karena disebabkan oleh 5 (lima) perkara:
1) Cerminya tak terbuat dari bahan yang baik sehingga kurang mengkilap.
2) Terdapat karat atau kotoran yang menempel pada cermin tersebut, meskipun bentuknya tampak sempurna.
3) Karena posisi cermin yang tidak mengarah kepada objeknya.
4) Karena terdapat hijab atau tirai di antara cermin dan objeknya.
5) Objeknya tidak ditempatkan di depan cermin
Menurut Imam Al-Ghazali, sebenarnya keadaan kalbu kita seperti 5 keadaan di atas. Kalbu kita seperti layaknya sebuah cermin yang disediakan untuk menampilkan dengan jelas hakikat kebenaran dalam segala hal. Namun, ketika kalbu tak mampu menjalankan fungsinnya secara baik, maka pengetahuan pun tak sampai kepadanya. Hal ini karena terdapat 5 (lima) penghambat bagi masuknya pengetahuan:

Pertama, disebabkan karena adanya kekurangan terhadap kalbu itu sendiri. Misalnya, seperti kalbu milik anak-anak kecil. Pada kalbu mereka tak tampak adanya pengetahuan, karena kalbu mereka masih memiliki kekurangan.

Kedua, disebabkan karena kotoran maksiat dan perbuatan keji yang terakumulasi sehingga menumpuk pada permukaan kalbu. Ini terjadi karena besarnya nafsu syahwat dalam diri sehingga menghalangi kejernihan kalbu kita. Akibatnya, kebenaran di dalam kalbu pun tak tampak, karena gelapnya timbunan kotoran dan noda dosa yang berulang-ulang melapisi kalbu.

Ketiga, kalbu kita tidak tertuju kepada arah hakikat objek yang dicari. Bahkan, menurut Imam Al-Ghazali, hati seseorang yang taat dan shaleh sekali pun, meskipun kalbunya bersih, boleh jadi tidak begitu cemerlang memperlihatkan hakikat kebenaran. Hal ini terjadi karena ia tidak searah dengan cerminnya dalam menuju arah yang ia cari. Bahkan, kadang-kadang, perhatiannya disibukkan dengan detail ibadah lahiriah saja atau hanya terfokus kepaada pencarian nafkah tapi tak tertuju kepada Allah. Begitu juga dengan pikirannya, ia tidak ditujukkan ke hadirat Ilahi yang tersembunyi di dalam batin. Maka, tak akan tersingkap baginya selain apa yang ia pikirkan, dari bahaya amalan sampai berbagai hal kekurangan diri atau kepentingan hidupnya. Bagaimana mungkin bisa menangkap cahaya Ilahi, jika pandangan kalbu kita tak tertuju kepada hakikat Ilahi?
Keempat, disebabkan karena hijab atau tirai. Seseorang yang taat dan sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya, dan mampu terfokus pada hakikat-hakikat kebenaran, terkadang masih tertutup dan tak mampu menyingkap tabir hakikat. Hal ini terjadi karena adanya hijab, berupa kepercayaan yang ia yakini sejak kecil secara taklid (ikut-ikutan) dan ia terima begitu saja tanpa mengetahui lebih mendalam. Sebenarnya, kepercayaan seperti ini pun dapat menghalangi kalbu dari hakikat kebenaran, dan juga dapat menghalangi terbukanya kalbu untuk menerima apa yang ia dapatkan secara taklid. Menurut Imam Al-Ghazali, tirai semacam ini banyak dialami oleh para ulama Ahli Kalam dan orang-orang yang terlalu fanatik terhadap mazhab fiqihnya saja. Bahkan, orang shaleh yang rajin tafakur tentang alam malakut, langit dan bumi, karena mereka terbungkus oleh keyakinan taklid yang telah meresap kuat dalam kalbu mereka. Ini menjadi dinding tebal yang menghalangi mereka dari hakikat kebenaran.

Kelima, disebabkan oleh kebodohan. Ia tidak mengerti arah menuju apa yang ia cari. Seseorang tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan melalui kebodohannya. Karena itu, ia harus fokus mencari ilmu-ilmu yang sesuai dengan apa yang dicarinya. Lalu, susunlah ilmu-ilmu itu secara sistematis di dalam dirinya dengan selalu merujuk kepada pemikiran dan ajaran para ulama. Dengan begitu, ia akan mendapatkan arah dalam memahami pengetahuan Ilahi.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jika seseorang ingin menyaksikan tengkuknya melalui sebuah cermin, dan ia lalu mengangkay cermin itu di depan wajahnya, maka cermin itu tidak akan memantulkan gambar tengkuk kita, karena tidak kelihatan. Jika ia meletakkan cermin di belakang tengkuk, ia malah tidak akan bisa melihat cermin itu apalagi gambat atau bayangan tengkuknya. Karena itu, agar ia dapat melihat tengkuknya, maka ia harus menyediakan dua cermin, dimana yang satu diletakan berhadapan dengan tengkuk, dan yang satu lagi diletakkan di depan wajahnya. Aturlah posisi kedua cermin itu, sehingga gambar tengkuk dari cermin yang satu terlihat di cermin yang berada di depan matanya. Saat itulah mata baru dapat melihat dan menyaksikan gambar tengkuk tadi.

Demikian pula dalam menuntut ilmu, terdapat metode-metode yang menakjubkan untuk mengetahui hakikat kebenaran. Inilah pentingnya kita berguru kepada ahli dzkir dan ulama pewaris para nabi agar mampu mengenal hakikat kebenaran. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan suatu amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikulkanlah amanah itu oleh manusia,” (QS Al-Ahzab: 72)

Menurut Imam Al-Ghazali, ayat ini mengungkap keistimewaan luar biasa manusia yang terdapat dalam dirinya, yang tak dimiliki oleh langit, bumi, dan gunung-gunung. Dengan keistimewaan ini manusia kuat dan mampu memikul amanah Allah. Amanah tersebut adalah makrifatullah dan tauhid. Dan, pada dasarnya, setiap diri manusia mampu memikul amanah tersebut, sebab-sebab kesalahan di atas akhirnya manusia tak sanggup mengembannya.

--Disarikan dari Kitab Aja’ib al-Qalb, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar