Senin, 30 Mei 2016

MENGENALI HAKIKAT DIRI



“Wahai Saudaraku yang mulia!
Apa sebenarnya yang membuatmu tidak mengesakan Allah SWT dengan tauhid hakiki (tauhid al-haqiqi), yang merupakan benteng Allah yang hakiki? 
Padahal, Dia menciptakan tubuhmu dalam bentuk yang terbaik (ahsan taqwîm), dan menciptakan (jiwa) engkau dalam shûrah (rupa lahiriah) yang indah. Engkau adalah al-ashl (sumber), dan engkau adalah keseluruhan (al-kull). Di dalam dirimu terdapat segalanya, dan darimu segalanya terwujud.

Takutlah engkau dari melupakan dzatmu! Karena, tidak ada sesuatu pun yang mencakup Al-Haqq, kecuali engkau, dan tiada sesuatu pun yang mampu memikul amanat selain dirimu. Dia benar-benar telah berfirman kepadamu, “Bumi-Ku dan langit-Ku tidak mampu meliputi (diri)-Ku, dan yang mencakupnya adalah hati hamba-Ku yang beriman.” (Hadis Qudsi)
Dia (Allah) SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya engggan memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”(QS al-Ahzâb [33]: 72)
Apabila engkau tidak mengetahui kapasitas diri-mu, maka engkau telah berbuat zalim terhadapnya. Maka, engkau telah merendahkannya di bawah kedudukan yang semestinya bagimu. Sebab, kedudukanmu itu agung, dan martabatmu itu mulia. Ia adalah dzat (esensi) bagi sifat-sifat.”
--Mukaddimah Kitab Jauharul-Haqa’iq karya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani (w.1630)
TENTANG SYAMSUDDIN AS-SUMATRANI
Syekh Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama Nusantara yang sangat dihormati di zamannya. Beliau sangat dikagumi oleh Ar-Ranini. Beliau pernah berguru pada Syekh Hamzah Fansuri. Ada juga pendapat menyebut bahwa dirinya pernah belajar daripada Sunan Bonang. Sungguh, di zamannya, karya-karya tasawuf telah menjadi pembahasan ulama-ulama Nusantara. Mereka menguasai khazanah pemikiran Islam, filsafat, tasawuf/tarekat dari sumbernya original. Dari karyanya, kita bisa mengenalan kedalaman ilmu dan makrifatnya.

Sayangnya, gairah ilmu dan tasawuf di zamannya terputus dari akarnya, apalagi setelah kedatangan penjajah di Tanah Nusantara. Akhirnya, kesalahan penafsiran, penyelewengan makna dan sejarah telah mempengaruhi intelektual Muslim. Pemikiran orientalis telah merusak sendi-sendi intelektual leluhur kita. Mereka salah kaprah dan memprovokasi umat dengan menganggap ajaran tasawufnya sesat, padahal justru karena kerendahan ilmu mereka sendiri dalam menilai.
Akhirnya, khazanah Islam ini tetap terpendam di ruang-ruang perpustakaan Belanda, Inggris, Prancis dan lainnya, karena miskinnya minat umat Islam terhadap sejarah nenek moyangnya sendiri yang begitu hebat.
Generasi kita mengenal ajaran Wihdatul Wujud dalam perspektif Barat yang rancuh dan salah. Kita pun akhirnya menghidari karya-karya penting para ulama terdahulu. Sungguh amat disayangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar