Senin, 30 Mei 2016

BELAJAR MAKRIFATULLAH DARI IMAM AL-QUSYAIRI

Imam Al-Qusyairi menjelaskan:
Abu Bakar al-Syibli pernah berkata demikian, “Allah adalah Dzat Yang Esa yang telah dikenal sebelum ada batasan dan huruf. Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi-Nya dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya.”
Imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang kewajiban pertama yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. Beliau menjawab, “Ma’rifat.” Hal itu didasarkan pada firman Allah: 
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات: 56)
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (QS. Al-Dzariyat: 56)

Ibnu Abbas menafsirkan frasa “illa Liya’ buduun” (kecuali untuk menyembah-Ku) dengan “Illa Liya’rifun” (artinya, kecuali untuk berma’rifat).
Imam al-Junaid berkata, “Sesungguhnya, kalam hikmah pertama yang dibutuhkan seorang hamba adalah, ciptaan mengetahui siapa Penciptanya dan makhluk yang tercipta bagaimana proses penciptaannya. Kemudian mengetahui sifat Pencipta dan sifat ciptaan-Nya. Sifat yang membedakan Dzat Yang Tak Bermula dari sifat makhluk yang memiliki permulaan. Menurut pada seruan-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Orang yang tidak mengenal rajanya, tidak akan mengakui kerajaan itu harusnya dimiliki siapa.”
Abu Thayib al-Maraghi berkata, “Akal memiliki petunjuk, hikmah memiliki kekuatan isyarat, dan ma’rifat memiliki kesaksian. Akal menunjukkan (dengan kekuatan logika), hikmah memberikan isyarat (halus), sedangkan ma’rifat memberikan kesaksian bahwa kemurnian ibadah tidak dapat diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid.
Imam al-Junaid ditanya tentang tauhid. Beliau mengatakan, tauhid berarti meyakini keesaan Dzat Yang Diesakan dengan berusaha mewujudkan keyakinan tauhid yang benar dengan kesempurnaan keesaan-Nya. Bahwa sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-Nya juga dengan cara meniadakan segala sesuatu yang berlawanan, menyamai dan menyerupai. Tanpa tasybih (penyerupaan), tanpa bertanya bagaimana, tanpa penggambaran, tanpa permisalan. Tak satu pun di semesta alam ini yang menyamai-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.
Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar al-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama. Artinya adalah adanya rasa pengagungan terhadap Tuhan dalam hati yang dapat mencegahmu bersikap ta’thil (mengingkari sifat-sifat Tuhan) dan tasybih (menggambarkan Tuhan sama dengan makhluk).
—Risalah Al-Qusyariyah, Imam Al-Qusyairi An-Naisaburi

2 komentar:

  1. Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
    saya sangat bersyukur senantiaasa dapat membaca karya karya bapak.
    terimakasih

    dengan bangga, saya adalah murid bapak di STAI NUR-ElGhazy
    Lulus Tahun 2008

    Yusup Abdul Muin

    BalasHapus
  2. Wa'alaikum salam
    TERIMAKASIH DAN SEMOGA ERMANFAAT

    BalasHapus