Selasa, 18 Agustus 2015

TERJEMAH KITAB RISALAH AL QUSHOIYRIYAH

TERMINOLOGI  TASAWUF
(Istilah  kata-kata dalam bahasa tasawuf)

W A K T U

Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka, “kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata : “Waktu adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan priorotas utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan : “Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi mereka. Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu). Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt, atau terapan menurut hukun syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

M A Q A M

Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepeuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian? Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka al-Wasithy  berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang gaib dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab.

H A A L

Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yag intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia. Dan stiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Dzunnun al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab, Al-‘arif itu ada disini, lalu dia pergi.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata : “Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. kepadaku.”  Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.

QABDH DAN BASTH

Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah seseorang hamba menahapi tingkah laku al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya dengan a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan kepada Allah swt.
Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan raja’,  hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominsai pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan  (al-mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata. ‘Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.” (artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt. sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya seseorang berhak untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.
Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global, wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku harus menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku.” Karenanya berkatalah mereka, “Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah, berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku, membuatku nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga aku ringan.

HAIBAH DAN UNS

Rasa takut sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di atas tingkatan khauf, dan basth di atas tingkatan raja’, maka haibah lebih tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth. (Maksudnya, Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah muncul dari Qabdh, yang bermula dari Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang takut kepada Allah swt, melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya, dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga muncullah Haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus, hatinya akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan Kaki).
Hak haibah adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam kegaiban. Orang-orang yang berada dalam gaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian “minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-uns adalah jika seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh.”
Al-Junayd berkata : “Aku mendengar batinku berkata : “Seorang hamba bisa ssampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.” Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata : “Aku memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian apda diri sendiri, sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba. Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam wujud nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu saat di kampung, aku berkata :
Aku datang, maka aku tak mengerti
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusia
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab
Yang lebih luhur wujud-nya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina
Dan dengan manusia
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia. 

TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD

Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku, ketika aku hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Apabila manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam btin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.

JAM’i DAN FARQi

Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa munajat, apakah memohon mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’ dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!. Jika ia berkata (“engkau jadikan”),  seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masign sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt. ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. memisahkan dalam ragam : Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’ dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.

FANA’ DAN BAQo’

Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah swt. memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.

GHAIBAH DAN HUDHUR

Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata  orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi kepada Allah swt.”

SHAHUW DAN SUKR

 Shahw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami kegaiban (ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr berati tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran, lalu mabuk pesonanya bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang seorang  yang sukr lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri mana kala sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang diinginkan.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena adanya sesuatu yang mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta sukacita, khauf dan raja’. Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki keseuaian- kesusaian ruhani. Apabila Allah swt. membuka hamba melalui sifat Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang (sukr), dan ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukasyafah Jamal, mereka mendengarkan syair :
Kesadaranmu dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanaya
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peenguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.
Merek masih bersyair :
Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya

Ada dua kemabukan bagiku
Dan bagi dua penyessal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku

Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah bugas si pemabuk
Anda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw) tergantung pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya juga bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka Shahw nya juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan Shahw mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair :
APabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira
di dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan
Allah swt. berfirman :
“Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunung dan kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping.

Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui beban yang diupayakan. Sedangkan dalam Shahw-nya terjaga melalui upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan Syurb.
DZAUQ DAN SYURB

Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka temukan dari buah tajali dan buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertama adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.
Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) makanwi, dan ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara keabadian hubungan mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).
Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya, maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan siapa yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair :
Gelas minuman adalah susuna kita
Kalau tak kita rasakan
Tak hidup pula ita
Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara : Aku inngat Tuhanku
Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula
Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-Bisthamy, “Di sana, orang yang meminum gelas dari kecintaan, tiada dahaga usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat kembali. “Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab siapa yang merasa di samudera jagad raya, ia akan hilang keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban. Dan Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala belenggu.

MAHUW DAN ITSBAT
Mahuw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan hukum-hukum ibadat. Barangsiapa menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan perilaku mulia, maka dialah yang memiliki mahuw dan itsbat.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian para syeikh berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah mahw dan itsbat. Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan itsbat, berarti telah menelantarkan diri dan terabaikan.”
Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang lahiriah dan mahw alpa (ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia.
Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw ghaflat muncul itsbat pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw dan itsbat sebagai syarat ubudiyah.
Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat dibatasi oleh Kehendak.
Allah swt. berfirman :
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)” (Qs. Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan : “Allah swt. menghapus dzikir selain-Nya dari hati orang-orang ‘Arifin (Orang yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan orang-orang yang menuju kepada Allah swt. dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, dan peng-itsbat-an Allah swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah lakunya.”
Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. dari penyaksian, Allah swt. memberikan itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah mengembalikan pada penyaksian jagad dunia, dan ditetapkan dalam wahana perpisahan.
Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang membuat diriku melihatmu tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku adalah aku bersama-Nya, tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas. Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq dari segala penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada mereka seperti semula setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu.

SITR DAN TAJALLI
Orang awam berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash berada dalam keabadian manifestasi (tajalli). Dalam suatu hadis, Allah swt. apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu, maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya. Dan orang yang berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangan khusus dalam ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun tertutup pada mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang fakir dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka sebaiknya engkau kasihan terhadap apa yang ada pada dirinya, dari cintanya kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat meneemaniku?”
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan (tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka, justru mereka acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh pandangannya.” (Hr. Muslim).

MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH
Muhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah itu baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Apabila langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr, maka matahari penyaksian tepancar dari bintang kemuliaan.
Kebenaran musyahadah,  seperti diungkapkan oleh al-Junayd r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang yang  musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang Muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musysahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya.”
Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli tampak terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah, sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri, sementara tak satu pun gelas piala yang mengabadikan dan memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan : Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada pengaruh.

LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris tidak ada perbedaan besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang sedang dalam tahap permulaan (bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap dalam kalbu. Sehingga cahaya matahari ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka. Namun Allah swt. mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat.
Sebagaimana Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di dalam surga, pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62). 
Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah kilatan kasyaf bagi mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman yang menutup mereka, sedang mereka mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka seperti digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan yang cemerlang
 Dari sayap-sayap lagnit yang benderang
Lawaih sebagai tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian Thawali’. Lawaih seperti kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah setahun
Ketika kami bertemu
Seakan salamnya padaku
Salam selamat tinggal
Mereka berkata :
Wahai orang yang berjalan,
Dan bukan pezarah sebenarnya
Seakan ia terkena api
Lewat di depan pintu rumah tergesa-gesa
Padahal tak ada bencana
Jika ia memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih jelas daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari cahaya beberapa waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak puas-puasnya memandang.
Dalam syair mereka berkata pula :
Tak sampai air  wajahnya di mata
Kecuali telah penuh
Sebelum puasnya mendekat
Bila telah tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan mengumpulkanmu dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka beada di antara pasukan Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :
Sedang malam mengandung kita
Dengan dinginnya yang mencekam
Sementara subuh, menyingkap selimut kita.
Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat dominasinya dan lebih abadi ketetapannya. Thawali’ mampu menghapus kegelapan dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak pula berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan perjalanan yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut berbeda-benda disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan malam panjang nan abadi yang ada. Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang angkanya, yang ada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap beks-bekasnya. Orang akan berada di tahap tersebut setelah menghuni luapannya, hidup dalam sorotan berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan waktunya untuk menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang ditemui, pada saat adanya itu

BUWADAH DAN HUJUM
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu Anda dari dimensi ghaib, terkadang karena adanya faktor kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan kelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikan oleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang mengejutkannya, baiks ecara potensi maupun aktual. Mereka adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan :
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung

TALWIN DAN TAMKIN
Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat ahli hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun).
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat menetap
Orang yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah samapi.”
Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan memotong jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya. Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r. Tirmidzi).
Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan Baihaqi).
Sedangkan sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang. Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt. mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).

QURB DAN BU’D

Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah swt.
“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya. Allah swt. berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah : 7). Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku
Tiada yang cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua
Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt. melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt. menjagamu dari kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya, apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini :
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.

SYARIAT DAN HAKIKAT

Syariat adalah disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan. (Musyahadah Ketuhanan (rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa syariat merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt. Sedangkan Hakikat adalah kelestarian memandang kepada-Nya. Tharikat adalah menempuh jalan syariat tersebut, yakni mengamallkan aturan-aturannya). Catatan kaki).
Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan dengan syariat, tidak akan suskes.
Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang Khalik, sementara hakikat merupakan implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa yang diperintahkan, sementara Hakikat adalah menyaksikan apa yang di qadha-kan dan ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa yang tampak.
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)” adalah menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)” adalah ikhtiar dengan hakikat.
Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila dilihat bahwa syariat adalah keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat adalah syariat, dari segi bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-Nya.

N A F A S
Nafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan lebih jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani. Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang yang berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung nafas (hati) bersama Allah swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan dijadikan kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt. mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan, adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggung jawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif” nafas tidak berserah kepadanya, karena tidak ada toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas, pastilah ia akan musnah.”

AL-KHAWATHIR

Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat, terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt. Yang Maha Benar.
Apabil bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah swr. Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq).
Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari para malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat, atau rasa takabur.
Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas.
Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara ilham dan waswas. Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan terhadap nasunya.”
Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah ruh tidak akan membisikan sesuatu kepada Anda.
An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa naffsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringatan dalam penjerumusan  itu.
Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang cocok di hati si penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah swt. sama sekali si hamba tidak menetang-Nya.”
Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”

ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

Ungkapan di atas merupakan wacana ilmu yang sudah jelas.
Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang menyebabkan keraguan sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan dalam sifat Allah swt. karena memang tidak relevan. Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi ulama, adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka yang cenderung rasional, ‘Ainul Yaqin, diperuntukan bagi para ilmuwan. Sedangkan Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang ma’rifat.


W A R I D

Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan dalam hati, berupa bisikan terpuji, tanpa diduga oleh seorang hamba. Tergolong kategori ini, adalah hal-hal yang tidak termasuk sisi dari bisikan (khawathir).
Warid kadang-kaang datang dari Allah swt. dan terkadang juga dari intuisi pengetahuan. Bisikan-bisikan terpuji (al-waridaat) ini lebih umum dibnding al-khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya khusus bagi macam perintah, atau yang se-arti dengannya. Sementara warid, lebih sebagai bisikan kegembiraan, atau kesedihan, genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan sejenisnya.


SYAAHID

Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan ekstase (yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd.
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan, dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya. Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan penglihatan mata.

NAFSU

Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum Sufi, “Ucapan kata nafs bukan dimaksudkan sebagai wujud, acuan masalah.” Yang mereka maksudkan dangan nafs adalah sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan perbuatannya.
Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi dua : Pertama, bersifat upaya dari hamba, seperti perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan. Kedua, budi pekertinya yang buruk dalam dirinya yang tercela. Maka terapi dan penyembuhannya pada diri hamba adalah berjuang melawan kehinaan perilaku tersebut yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang pertama, termasuk hukum-hukum nafsu adalah hal-hal yang dilarang setara dengan keharaman atau larangan yang besifat dibenci. Sedangkan pada sifat kedua, berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya. Yang tergolong akhlak tercela.
Hukum nafsu terburuk adalah berupa khayalan bahwa sesuatu perbuatan yang muncul dari nafsu dianggap baik. Atau perbuatan nafsu itu sebagai bagian takdir. Karena itulah perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik khafy atau syirik yang samar. Karena itu, terapi akhlak dalam menyingkirkan nafsu lebih penting daripada berlapar-lapar, haus atau berjaga (tanpa tidur) dan sebagainya yang mengandung unsur penyusutan kekuatan fisik. Walaupun cara seperti itu juga termasuk meninggalkan kesenangan nafsu.
Nafsu itu sendir merupakan nuansa lembut yang ada dalam hati, sebagai tempat akhlak yang tercela. Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa lembut dalam hati, namun sebagai tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang umum, masing-masing saling meundukkan. Semuanya, merupakan bagian dari kesatuan manusia. Eksistensi ruh dan nafsu tergolong wadag lembut dalam rupa, sebagaimana eksistensi malaikat dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan.
Seperti benarnya mata sebagai tempat memnadang, telinga sebagai tempat mendengar, hidung sebagai tempat penciuman, mulut sebagai tempat rasa, maka, begitu pun orang yang mendengar, yang melihat, yang mencium dan yang merasakan, semuanya termasuk dalam bagan manusia. Demikian pula, tempat sifat-sifat yang terpuji, tempatnya adalah hati dan ruh. Sedangkan sifat-sifat tercela tempatnya adalah nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari keseluruhan tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama, kembali pada keseluruhan kesatuan sosok manusia.

 R U H

Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal Ruh. Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt. menjalankan kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan.
Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu tercetak di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur dan berpisah dangan badan, kemudain kembali kepada-Nya.
Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt. menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar. Beberpa hadits mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut.

SI IR
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia, sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia dibanding kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan termasuk antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan, “Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia jiwa (asraar).

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

1.      MA’RIFATULLAH

Abu Bakr asy-Syibly berkata : “Allah adalah Yang Esa, yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Ia berkata : “Ma’rifat.” Karena firman Allah swt. : “Aku tidak menciptakan jin manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyaat : 56).
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan adalah Illa liya’rifuuun(kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku).
                     Al-Junayd berkata : “Haat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah Ma’rifat makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita bagSang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa kewajiban-kewajiban harus diberikan.
Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal mempunyai bukti, hikmah mempunyai isyarat, dan Ma’rifat mempunyai Syahadat. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat menyaksikan; bahwa sanya kejernihan ibadat tidak akan tercapai kecuali melalui kejernihan tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan Yang Maha Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa yang tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra terhadap antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada sesuatu pun yang menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat. Jawabnya : “Ma’rifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam kalbu yang mencegah dirimu dari penyimpanngan dan penyerupaan.”

2.      SIFAT-SIFAT

Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu bahwa Allah swt. tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra pada Sifat-sifat.”
Ah-huasin bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam” hanyalah bagi-Nya. Segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tampak bendawi menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di genggaman-Nya. Hal-hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan yang ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang menyentuhnya. Hal-hal yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan kepada-Nya. Siapa yang berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata di mana. Sungguh Maha Suci Allah swt. Dia tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada, juga tidak dihilangkan oleh tiada. Sifat-Nya tidak memliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memili cacat. Adanya tak terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal penjelasan-Nya melalui kejadian baru (hudus)-Nya.”

Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah ketetapan-Nya. Ma’rifat adalah tauhid-Nya, dan tauhidnya adalah perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya. Segala yang tergambar oleh khayal, selalu berbeda dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yang dari-Nya sesuatu itu bermula? Atau dia kembali pada sesuatu, padahal Dia-lah yang memunculkaNya ? Dia tidak bisa dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya, ketinggian-Nya adalah sesuatu yang tidak berukuran ketinggain, kedatangan-Nya tanpa berpindah, Dia-lah yang Awal dan yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh, Yang tidada sesuatu pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Yusuf bin al Husain berkata : “Ada seseorang berdiri di antara dua sisi Dzun Nuun al-Mishsry, orang itu bertanya, “Berilah aku kabar tentang Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu? Dzun Nuun menjawab : “Tauhid berarti Anda tahu bahwa Kekuasaan Allah swt. terhadap segala hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari seab langsung bagi segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung bagi ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang mengaturnya kecuali Allah swt. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda dengannya.”
Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar Anda behwa sesungguhnya Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan pekerjaan-Nya.”

3.      I M A N

Abu Abdullah bin Khafifi berkata : :Iman berarti penetapan kalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal yang gaib.”
Abul AbSayyary berkata : “Pemberian Allah itu ada dua macam :Karamah dan istidraj. Segala hal yang menerap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala yang sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan saja , “Aku beriman, insya Allah’!.”
Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan : “Orang-orang yang beriman melihat Allah swt, dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan kawasan.
Abul Husain an-Nury berkata : “Kalbu adalah tempat penyaksian al-Haq. Kami tidak pernah melihat Kalbu yang lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan Kalbu Muhammad saw. Lalu Allah swt. memuliakannya lewat Mi’raj, sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah swt, dan penyempurnaan.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku. Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam, dengan Islam yang baru (sebenarnya).”
Abu Utsman ditanya soal mekhluk. Jawabnya : “Cetakan dan bayangan, yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasan Ilahi.”
Al-Wasithy berkata : “Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak tidak dengan zatnya. Begitu juga hasrat-hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan zatnya, seijin Allah. Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah.

4. R E Z E K I

Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepda Allah. Jawabnya : “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari Allah kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa’ dan fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikaakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd : “Tauhid adalah keyakinan.” “Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt, Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila ada sudah berpadangan demikian, Anda telah menauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan : “Doakan aku!.” Kata orang tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap dalam ilmu gaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian sesuatu doa tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nuun.
Abul Husain an-Nury berkata : “Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaraktkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan.” Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid, menjelaskan : “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid melebur dalam satu kalimat, yaitu : Setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah swt pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah swt. “
“Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuura : 11).
Abul Qasim an-nahr Abadzy berkata : “Surga abadi dengan keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya keapdamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Ahlul Haq berkata : “Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi karena badi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan : “Anda bersimpang siur antara sifat-sifat (fi’l) dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt. secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda diintegrasi oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai apda tahap al-ja’u Anda akan terintegrasi oleh sifat-sifat Dzat-Nya.
Sang Syeikh. Imam Bau Ishaq al-Isfirayainy r.a. mengatakan : “Ketika aku datang dari Baghdad. Aku belajar di masjid Naisabur  perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan kamimendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari, kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya kau seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini,’ katanya sambil menunjuk ke arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah berkata kepadanya : “Tolong beritahu aku mengenai Allah swt?” Yahya menjawab : “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada Yahya : “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali beretanya : “Di mana Dia?” “Dia benar-benar mengawai.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini.” Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab : “Tidak ada lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna : ma’a. Junayd menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna : ma’al an-biyaa’ (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt. :
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Qs.Thaaha :46).
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah swt. berfirman :
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempat.” (Qs. Al-Mujaadilah : &).
Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar layak untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah swt.”

5. ARASY

Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah swt.
“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayan di atas Arasy.” (Qs.Thaha : 5)
Jawabnya : “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap yang Maha Pemurah (ar-Rahmaan) menjadi semayam (-Nya).”
Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.”
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Barangsiapa berpandangan bahwa Allah swt. ada di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung sesuatu.”
Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah : “Kemudian Dia mendekat, lalu tambah mendekat lagi.” (Qs. An-Najm : 8), bahwa :Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yang dimaksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada dekat dan tidak ada jauh.”
Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara tidak sengaja aku mendapati seorang lai-laki yang direkadaya setan, sehingga aku harus mengumandang adzan ke telinganya. Tiba-tiba terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata : Al-Qur’an adalah makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata : “Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan huruf-huruf. Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as. Diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak tersebar di kalangan Malaikat-Nya satu pun. Kemudian hruf-huruf itu meluncur dari lisan Adam as. Melalui struktur yang berlaku dan struktur bahasa. Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf tersebut.”
Ibnu Atha’ menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan ucapan perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf tersebut merupakan perbuatan dalam obyek yang diperbuat.
Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen : “Tawakal adalah perbuatan kalbu, dan tauhid merupakan ucapan kalbu.”
Al-Husain bin Mansur berkata : “Siapa yang mengenal hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan : Mengapa dan bagaimana.”
Al-Wasithy menegaskan bahwa, tidak ada yang lebih mulia dari makhluk Allah ketimbang ruh.”

6. Allah Swt. YANG HAQ
Para Syeikh dari tharikat ini mengatakan soal tauhid. Sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Kasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Maha Agung, Maha Luhur,Maha Bicara, Maha Melihat, Maha Besar, Maha Hidup, Maha Tinggi, Maha Abadi dan selagalanya bergantung kepada-Nya.
Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Maha Kuasa dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat, Maha Mendengar dengan sifat Sama’, Maha Melihat dengan sifat Bashar, Maha Bicara dengan Kalam, dan Maha Hidup dengan Hayat, serta Maha Abadi dengan Baqa’
Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupkan sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha Suci Allah dari segala keharusan menentukan, dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.
Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat-sifat tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan Abadi.
Allah adalah Tunggal Dzat-Nya. Yang tidak disamai oleh segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.
Allah bukan jasad, materi, benda dan bukan sifat baru, tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat-sifat-Nya.
Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya.
Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira, dan dari hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari Ilmu-Nya tidak tersembunyi oleh yang diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana dia mencipta dan apa yang dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya : Di mana Dia, dan bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga muncul kata-kata Kapan ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga didkatakan : “Melampaui kekinina dan zaman.” Tetapi Allah tidak bisa dikatakan : “Mengapa Dia berbuat terhadap sesuatu ?” Kenapa, tidak ada sebab langsung terhadap pekerjaan-Nya.”
Allah juga tidak bisa dipertanyakan : Apakah Dia? Karen Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.
Dia memiliki Asmaul Husnah dan Sifat-sifat Luhur. Dia melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi kehinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului Qadga’. Apa yang diketaui dari ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari apa yang wenang. Dia berkehndak untuk tidak terjadi.
Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan dan keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari materi dan submateri. Allah yang mengutus utusan untuk para ummat bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan Para Nabi as, tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan mentang-Nya. Dan Nabi kita Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yang mungkar. Khulafaur Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam setelah wafat Nabi saw. selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan para Auliya-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari kesesatan ketika melakukan “IJMA”. Dan rekayasa kebatilan sirna melaui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan oleh para pejuang agama, karerna firman Allah swt :
“Agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci.” (Qs. As-Shaff : ).
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”

1. T AU B A T
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur : 31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M) dari suku Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis. Lahir di Madinah dan kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal di Bashrah), bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.” (H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah, apa pertanda bertaubat.?”, beliau menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Tiada sesuatu yang dicintai oleh Allah selain pemuda yang bertaubat.” (as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir, Jilid II, hlm. 8050, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut as-Suyuthy, hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, taubat merupakan tingkat pertama di antara tingkat-tingkat yang dialami oleh para Sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah (salik).
Makna taubat dalama Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia bertaubat” beraarti “Ia kembali”. Jadi taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Rasulullah saw. bersabda “Menyesali kesalahan merupakan sutu taubat.” (H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan : “Terdapat tiga syarat taubat yang musti dipenuhi agar taubat itu sah : Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan; meninggalkan secara langsung penyelewengan; dan dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya taubat itu, sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda : “Haji adalah Arafah”, maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya tidak ada unsur-unsur haji yang yang lain selain wukuf di Arafah, melainkan bahwa bagian terbesar unsurnya adalah wukuf di Arafah. Demikian pulalah maksud dari pesan yang disampaikan Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali kesalahan merupakan suatu taubat.” – bahwa bagian utama taubat adalah menyesali keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi persyaratan taubat.” Demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua persyaratan yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa taubat mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian. Sebab langsung taubat yang pertama ialah kebangunan hati dari kealpaan, menyadari bahwa hamba tersebut berada dalam perilaku buruk. Ia mencapai ini dengan batuan Allah swt. terhadap pikirannya. Ini berlangsung dengan cara mendengarkan kata hati, lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah mengingatkan pada kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal daging di dalam jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan jasad akan bagus, dan apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya, niscaya ia akan memahami tindakan-tindakan tercela yang dilakukannya, dan keinginan untuk bertaubat akan datang ke lubuk hatinya, bersamaan dengan tindakan menahan diri dari tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudan Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam menempuh jalan kembali menuju kebaikan.
Cara bertaubat pertama adalah, memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan hal ini tidak akan lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam bersyahadat, secara terus menerus, dan dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan raja’. Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk simpul kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang. Apabila terus bertindak sesuai dengan tujuan yang selaras dengan kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa aman yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya mendorong untuk melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin seringkali terjadi, kita harus tetap berharap orang seperti itu akan bertaubat lagi karena : “Bagi tiap-tiap masa ada ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku seringkali mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya membekas di kalbu. Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itu pun lenyap. Aku menghadiri majelis untuk kedua kalinay, mendengar uacapnnay dan membekas di kalbu, lalu hingga di jalan aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di majelisnya untuk yang ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di rumah. Selnjutnya kuhancurkan segala peralatan yang mengarah pada dosa dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini kusampaikan kepada Yahya bin Mu’adz, sembari memberi komentar atas kisah ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor burung gbangau : “Dengan burung pipit yang dimaksudkannya adalah si pengisah itu dan burung bangau adalah Abu Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku meninggalkan suatu perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan itu meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali lagi padanya.”
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya, seringkali mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu Utsmman amat berkesan di dalam hatinya, hingga membuatnya bertaubat. Selanjutnya ia mendapat cobaan. Ia meninggalkan Abu Utsman, dengan mengundurkan diri dari majelisnya. Pada suatu hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr segera berpaling dan mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya, berjalan di belakangnya, seraya berkata : “Wahai anakku, jangan menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau membantumu dalam keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya Abu Amr bertaubat dan kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang murid bertaubat, kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Hai Fulan, engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu, kemudian engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si pemuda itu pun bertaubat, kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan odsa, maka pada saat itulah taubat sejati menyeleusup ke lubuk hati. Ia menyesali terhadap segala sesuatu seperti telah dilakukannya, menjauhi tindakan-tindakan tercela, sehingga taubatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-orang yang jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan malam dalam keadaan sengsara, dan bertaubat dalam situasi bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air mata, dan mengobati hati dengan taubatnya. Ia dikenal di antara sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya memberikan kesaksian kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertaubatana seseorang adalah menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan harapan nahwa yang dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak mereka atau bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan klaim yang bekenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Dan apabila harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim mereka, dan kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran, disamping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Taubat dibagi menjadi tiga tahap, tahap awal adalah taubat (tawbah), tahap tengah adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah.” Ia menempatkan tawabh di awal, awbah di akhir, dan inabah di antara keduanya.
Barangsiapa bertaubat karena takut siksa, maka ia tergolong orang yang taubat. Siapa pun yang bertaubat karena ingin mendapatkan pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa pun yang bertaubat lantaran mematuhi printah Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, taubat adalah sifat kaum Mukminin.” Allah swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amatlah taat (kepada-Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Taubat itu mempunyai tiga makna. Pertama, menyesali kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah swt.; dan ketiga adalah menyelesaikan/membela orang yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Taubat adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada suatu hari, dan mendapatinya sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah terjadi atas dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan ia bertanya tentang taubat kepadaku. Kukatakan kepadanya. “Taubat adalah bahwa engkau tidak melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan mengatakan, ‘Taubat adalah justru engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu.” Al-Junayd menjawab, “Karena apabila aku berada dalam kondisi kering, lantas aku dipindahkan ke kondisi dingin, maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru, yang terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk taubatnya orang-orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi karena keagungan Allah Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat (dzikr) kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar : “Taubat kalangan awam adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum kahwash adalah taubat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Taubat adalah bahwa engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan : “Betapa besar perbedaan antara orang yang bertaubat dari dosa, orang yang bertaubat dari kealpaan, dan orang yang bertaubat dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Taubat sejati adalah taubat yang tidak menisakan pengaruh maksiat, baik secara batin maupun lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan mengatakan, “Aku telah bertaubat” dan aku tidak kembali kepada-Mu hanya karena sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak aka berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang diajukan dengan tidak disertai pencabutan dosa adalah taubat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal taubat, ia menjawab : “Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya ketika mengingatnya, itulah taubat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi taubat adalah bahwa bumi ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah swt. telah menyatakan di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat dua jenis taubat : Inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah sang hamba bertaubat karena takut akan hukuman; dalam istijabah ia bertaubat karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang bertaubat membenci dunia?” Ia menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh Allah karena taubat.” Dikatakannya pula, “Sungguh dunia termasuk bagian dosa dengan amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas taubatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan : “Taubat para pendusta berada di bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman kepada Adam : “Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka, yang berdoa dengan sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira; doa mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila aku bertaubat, akankah Dia mengampuninya?” Dijawab oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang membiarkan dirinya larut dalam kesalahan, benar-benar identik dengan menggelincirkan diri sendiri. Tetapi apabila ia bertaubat, niscaya penerimaan taubatnya oleh Tuhan diragukan, terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu sebelum si pendosa sampai pada satu titik dimana ia menjumpai tanda-tanda kecintaan Allah kepada dirinya dalam sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya telah melakukan suatu tindakan yang mengharuskan taubat, ialah bertaubat secara sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih perbuatan odsa dan memohon ampunan, sebagaimana tertuang dalam ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar)  mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku memohon ampunan Allah tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu penyelewengan saja sesudah bertaubat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh penyelewengan sebelum bertaubat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya firman-Nya : “Kepada-Nya-lah mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya jika mereka bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”

Abu Amr al-Anmathy berkata : “Ali bin Isa, seorang perdana Menteri, mengendari sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan orang-orang yang tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah ia? Siapakah ia? Seorang wanita yang berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai kapan Anda akan mengatakan , ‘Siapakah ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan sebagaimana Anda lihat.’ Katika Ali bin Isa mendengar jawaban wanita tersebut, ia kembali ke rumahnya, seketika itu pula mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, lalu pergi ke Mekkah, dan menetaplah ia dikota suci itu.

2. MUJAHADAH

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut : 69).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khurdry, (Sa’id bin Malik bin Sanan al-Nashari al-Kahzrajy (10.sH – 74 H/613 -693 M), seorang sahabat Rasulullah saw. Ikut berperang duabelas kali, dan meriwayatkan 1170 hadis. Meninggal di Madinah). Bhawa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab, “Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang pengausa yang zalim.” (Qs. Hr. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Mka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa’id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Barangsiapa menghiasai lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang mencar darinya.”
Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : “Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di jalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan : “Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya.” Dikatakannnya pula, “Gerak adalah suatu berkat.” Dan katanya kemudian, “Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah-barakah batin.”
As- Sary berkata : “Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku.” Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as-Sary dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al-Hasan al-Qazzaz berkata : “Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Seseorang akan baru mencapai derajat kesalehan, sesudah melakukan enam hal : (1) Menutup pintu bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan; (2) Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati; (3) Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan; (4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga; (5) Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan; (6). Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian.”
Abu Amr bin Nujayd berkata : “Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan : “Apabila seorang Sufi – sesudah lima hari kelaparan – berkata : “Aku lapar.” Kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebaisaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjag waktu.”
Jiwa; mempunyai dua sifat yang menghalangi dalam mencapai kebaikan; keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya. Manakala Jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah ddipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan kemanisan dalam  anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasai perbuatan-perbuatannya kepada siapapun yang melihatnya. Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan hargadirinya yang rendah, asal-usulnya yang hina dan amal-amalnya yang emnijikan. Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan-tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya, sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya ia menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta’isy berkata : “Aku berangkat haji berkali-kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikan sguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalam hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai suatu yang memberatkan dalam hukum syaritat.”
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. Ia menjawab : “Semasa Muda, aku berpikir bahwa keadaan-keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpai saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya, penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunyikan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.”
Ibrahim bin Khawwas menegaskan : “Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menungganginya.”
Muhammad bin Fadhl mengatakan : “Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu.”
Saya mendengar Abu Ali ar.Rudzbary berkata : “Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal : Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak.” Saya bertanya kepadanya, “Apakah kelemahan watak itu?” Ia menjawab. “Mengkonsumsi hal-hal-yang haram.” Lalu saya tanyakan : “Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?” Ia berkata : “Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam firnah.” Saya bertanya : “Apakah mempertahankan teman yang  merusak itu? Dijawabnya : “Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya.”
An-Nashr Abadzy mengatakan : “Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian.” Ia juga berkata : “Aku mendengar Muhammad al-Farra’ berkisah bahwa Abul Husain al-Warraq mengatakan : “Ketika kami memulai menempuh jalan-Nya lewat Tasawuf di Masjid Abu Utsman al-Hiry, praktek terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami mempriorotaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaffkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap.”
Abu Ja’far berkata : “Nafsu, seluruhnya gelap gulita, peliatanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya.” Ketika mengatakan, “Pelita adalah batinnya.” Dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt. yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa-peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, ia akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan “Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya.”
Abu Utsman berkata : “Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, ia tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terus menerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu.
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan dirinya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata : “Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya.”
As-Sary berkomentar : “Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca-pembaca Al-Qur’an yang sering mengunjungi pasar, dan ulama-ulama yang mendekati penguasa.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal (1) Mereka memiliki niat yang lemah dalam melaksanakan amal untuk akhirat; (2) Tubuh mereka diperbudak oleh nafsu; (3) Mereka tidak henti-hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal; (4) Mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta; (5) Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi saw. (6) Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya.

3. KHALWAT DAN ‘UZLAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy (21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak ia yatim. Masuk Islam tahun 7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw. serta meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apa bila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam peperangan, ia memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di medan jihad; atau seseorang menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan beribadat kepada Tuhan sampai datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang orang yang ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap seorang yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari manusia adalah meyakini bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya (dengan tindakannya memisahkan diri dari mereka), bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Sikap pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah dirinya sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa bahwa dirinya lebih baik dari masyarakat. Orang yang mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah hati, dan orang yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya : “Anda seorang rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah anjing penjaga. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah Anda?” Pakaian saya tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga harus mempunyai pengetahuan yang dapat diperolehnya dari syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya berada di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya amenjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?” Mereka menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai pakaian sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan yang seperti mereka makan. Namun aku menyendiri dari mereka dalam rahasia.” Saya mendengar ia berkata : “Ada orang yang datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari jarak yang jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan.Berpisahlah dari diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab : “Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan bersama sesamanya supaya bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali pengingatan kepada Tuhan, terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak demikian, maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya ke dalam cobaan atau petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat pada ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari dunia dan akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah menemukan yang terjelek dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam pergaulan dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab : “’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri dari dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan memakan makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak sempurna kecuali menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda menjadi munajat. Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui khalwat tidaklah seperti orang yang menyembunyikan dirinya dari sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah diatasi ketimbang kesenangan berada bersama orang lain.” Makhul asy-Syaami mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama manusia ada baiknya, tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak, wahai sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa pertanda kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab-akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku bertanya, “Apakah Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa seseorang yang bersama Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang sangat kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-orang seperti kita, bergaul dengan orang banyak lebih menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian : “Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak, hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya : “Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai sahabatku! Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat bergabung dengan yang lain. Seseorang yang belum menjalin kemesraan dengan Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah Anda temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku dan ia ingin menyertaiku. Aku khawatir ia mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau sesuatu di tempat ini yang dengannya Anda  merasa akrab?” Ia menjawab : “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan makna ucapannya itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Sufi ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan ‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.” Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : “Apakah obat bagi hati yang sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengan sesama manusia sejarang mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”

4. T A Q W A

Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang menghadap Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah, nsehatilah saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum Muslimin. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada rasulullah saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab “Setiap orang yang takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan ketundukan kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan kejahatan, dan hal-hal yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing bagian tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam tafsir menganei firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong sejati selain Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain Utusan Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain takwa, dan tidak satu pun amal yang langgeng keteguhannya selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi secara adil sesuai dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan taqwa dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa menginginkan takwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa akan merindukan pepisahan dengan dunia, karena Allah swt berfirman : “Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am :32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari dunia dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu Abdullah ar-Rudzbary mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan diri jauh dari Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian dirinya dengan sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan aspek batinnya adalah niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang baik : Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa diri dengan apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak sesuai dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang membatasi dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang menjauhi ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan taqwa. Contoh orang yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin membeli empat puluh kaleng mentega. Ketika salah seorang membantunya menyingkirkan seekor tikus dari salah satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci mana yang darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak tau! Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia membeli kunyit jingga di Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-jingga, dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut. Maka, ia kembali ke Hamadhan dan melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan pohon milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan, “sebuah hadits menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan adalah riba” (Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap hadits ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama seorang sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di dinding pagar kebun buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan menancapkan paku di dinding orang.!” Sahabatnya menyarankan : “Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid menjawab : “Aku khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid menjawab : “Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita menutupi dengan jubah ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan punggungnya hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa tongkat seseorang yang berusisa lanjut, yang juga menancapkannya di tanah, dan menyebabkan tongkat orang tersebut roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan minta maaf kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu disebebkan oleh kelalaian saya, ketika Anda terpaksa membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin. Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, ia memberikan penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat kepada Allah swt.” Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan : “Aku mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis. Di tengah malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat pertama itu berkata : “Inilah orang yang derajatnya telah diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli sedikit kurma di Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah, membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir kurma ke dalam kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan dan mengisi malam hariku di Masjid  Kubah Batu Karang. Ketika sebagian malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun dari langit, dan malaikat yang satu bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya berkata lagi : “Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan dinaikan derajatnya oleh Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; bagi kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih (khawash) adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’ adalah menghindari ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi menghindari menisbatkan amal kepada selain Allah swt. Sebab taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Kaum termulia di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh hati orang yang melakukannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy dan Ibnu Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan selamat kecuali bila berlindung secara ikhlas kepada Allah.” Allah swt. berfirman : “Dan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan tekun beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt. berfirman : “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.” (Qs. Al’Alaq :14). “Bahwa sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs. Al-Anbiya :101).
Dikatakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman : “Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).

5. W A R A’

Diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghiffary, (Abu Dzar adalah Jundub bin Junadah al-Ghiffary (wafat 23 H/652 M.) dari bani Ghiffar, seorang sahabat yang telah dulu masuk Islam. Beliau sangat jujur dan memiliki keteladanan. Tinggal di Damaskus), bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sebagian dari kebaikan tindakan keIslaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik Bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Syeikh Abu Ali ad.daqqaq mengatakan : “Wara’ adalah meninggalkan apa pun yang syubhat.” Dmeikian pula, Ibrahim bin Adham memberika penjelasan : “Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan.”
Abu Bakr ash.Shiddiq r.a. berkaa : “Kami dahulu selalu meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Bersikaplah wara’, dan kamu akam nejadi orang yang paling taat beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).
As. Saru berkata : “Terdapat empat orang yang wara’ di zaman mereka : Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap wara’. Dan apabia usaha untuk mendapatkan sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal mungkin.”
Asy-Syibli berkomentar : “Wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu selain Allah swt.”
Ishaq bin Khalaf mengatakan : “Wara’ dalam bicara lebih sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Wara’ adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas  terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”
Abu Utsman mengatakan : “Pahala bagi wara’ adalah kemudahan penghitungan amal di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wara’ adalah berpangku pada batas ilmu tanpa menakwilkannya.”
Dikatakan : “Sekeping uang loga kecil milik Abdullah bin Marwan jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia meminta bantuan seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tiga belas dinar. Ketika seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan : Nama Allah swt. tertera pada uang itu.”
Yahya bin Mu’adz menegaskan : “Ada dua jenis wara’ : Wara’ dalam pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah swt. dan wara’ dalam pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati Anda kecuali Allah swt.”
Ia juga berkata : “Orang yang tidak memeriksa dan meahami seluk beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan : “Orang yang pandangan atas agama jeli, akan memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan”
Yunus bin Ubaid mengatakan : Wara’ berarti keluar dari segala syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan.”
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum pernah melihat sesuatu yang mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh hawa nafsu Anda, tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah lidah Anda dari pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal paling sulit untuk dilaksanakan, ada tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’ adalah khalwat, dan menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti dan Anda jadikan harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi Ahmad bin Hanbal dan memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas atap rumah, ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami. Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya : “Siapakah Anda, (semoga Allah menjaga kesehatan Anda)?” Ia menjawab : “Saya adalah saudara wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad menangis, lau berkata, “Wara’ yang jujur muncul dari keluarga Anda. Jangan memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku sedang berjalan melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat beberapa orang Syeikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Oleh karena itu aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut menjawab, ‘Wara’ para syeikh ini demikian kecil sehingga kami memandang kecil mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di Bashrah selama empatpuluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun yang masih segar dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa Anda tidak minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai timba, aku akan meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap bahwa makanan tersebut syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan itu, tetapi tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha menggerakkannya hingga tiga kali. Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan : “Tangannya tidak pernah mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang Syeikh ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni, ia menjawab : “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri maksiat kepada Allah swt. Dan Halal yang murni adalah yang Allah tidak dilupakan di dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia melihat salah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan berceramah di hadapan sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu bertanya : “Siapakah yang menguasai agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.” Hasan bertanya lagi : “Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab : “Kesereakahan.” Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata : “Bobot sebutir wara’ yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt dalam majelis Allah swt, di akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’ tidak menyertai seseorang, ia tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun diwajibkan baginya makan kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat satu-satunya adalah aroma keharumannya, dan aku tiak ingin hanya diriku sendiri yang mencium aromanya, sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman al-Hiry berkata : “Abu Shalih Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang sahabatnya yang sedang menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih memadamkan lampu. Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan. “Sampai sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku selama empatpuluh tahun. Salah seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong ikan rebus untuknya. Ketika ia selessai memakannya, aku mengambil sebongkah lempung dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum meminta haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di sebuah rumah swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu yang dapat diperoleh dari dinign rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah yang ditempatinya adalah ruamh sewa, akan tetapi ia bependapat bahwa hal itu tidaklah penting. Karenanya, ia pun menegeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan debu akan melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah melimpahkan kasih sayang kepadanya – menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual bahan makanan di Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan tersebut mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan “Ambillah, yang mana ember milik Anda.?” Ahmad menjawab : “Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua meber maupun uang itu untuk Anda!” Penjual makanan tersebut memberri tahu, “Inilah ember Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.” Ahmad menyahut : “Saya tidak akan mengambilnya.” Lalu pergi, dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si penjual bahan makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat dzuhur. Kuda tersebut merumput di ladang milik Kepala Desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda tersebut dengan tidak mengandarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak sutu ketika pergi pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena dan lupa mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas dari tangan dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya, dan berjalan untuk memungut cambuk tersebut. Seseoang berkomentar, “Akan lebih mudah sandainya Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan kemudain mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut : “Aku menyewa kuda itu untuk pergi ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku berkelana di padang belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di sebuah jalan, seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum. Air itu menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat lampu sultan, tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka, Rabi’ah pun menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang sayap yang dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia ditanya : “Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?” Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid-murid al-Hasan, ia bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?” Mereka menjawab : “Wara”, Ia berkata : “Tiada sesuatu yag paling mudah bagiku selain ini (wara’). Mereka bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan menanggapi : “Aku belum pernah minum air dari mata air milik Anda semua selama empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan-makanan berlemak atau minum air dingin selama empat puluh tahun. Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya kepadanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi Sinan : “Baik, kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang pernah kupinjam belum ku kembalikan.”
Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan beribadah secara khusyu’ selama empat puluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang penimbang gandum. Dan ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya?” Dijawabnya : “Baik, kecuali bahwa aku dihalangi memasuki pintu surga, disebabkan oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku menimbang empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati sebuah makam, seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya kembali dan Isa bertanya kepadanya : “Siapakah Anda? Ia menjawab : “Aku adalah seorang kuli, dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang, aku mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku dianggap bertanggung jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika Abbas bin la-Muhtadi berlalu dihadapannya. Ia bertanya : “Wahai Abu Sa’id, apakah anda tidak mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq, minum dari penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara tentang wara’.


6. ZUHUD

Nabi saw. bersabda :
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-Takhrij oleh Abu Nu’im dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pada umumnya banyak orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab perkara yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba-Nya berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada-Nya atas berkat itu, maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk mengekangnya.”
Sebagian yang lain mengatakan : “Zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal adalah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadanya maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmannya :
“Katakanlah, Kesenangandi dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. An-Nisa’:77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan : “Apabila seorang hamba membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt. bersabar, dan tiak mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar : “Seyogyanya bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya harta yang halal, ia harus bersyukur kepada-Nya. Apabila Allah swt menentukan dirinya berada pada batas kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, karena kesabaran merupakan suatu yang paling utama bagi pemilik harta yang halal.”
Sofyan ats-Tsauri berkata : “Zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.
Sari as-Saqathy menegaskan : “Allah SWT. menjauhkan dunia dari para auliya’-Nya, menjauhkan dari makhluk-makhluk-Nya yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai-Nya lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi meraka.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam firman-Nya, (“Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Qs. Al-Hadid :23). Sebab sang hamba tidak gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata : “Zuhud alah hendaknya Anda meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Zuhud adaah hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya. ia bukan berkata “Aku akan membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Zuhud menyebabkan kedermawwanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan pada semangat kedermawanan.”
Ibnul Jalla’ berkomentar : “Zuhud adalah sikap Anda memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi diri Anda.”
Ibu Khafif berkata : “Pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula : “Zuhud adalah ketidak senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Orang zuhud selalu asing di dunia dan seorang ahli ma’rifat )’arif) adalah orang asing di akhirat.”
Dikatakan : “Bagi orang yang benar-benar bersikap zuhud, dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.” Oleh sebab itu, dikatakan : “Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan : “Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pendapat soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury; Ahmad bin Hanbal; Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan bahwa zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan sebagaimana mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor penyebab zuhud, sekaligus sebgai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar : “Zuhud adalah tawakkal kepada Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga mengatakan demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda-tandan zuhud, lantaran si hamba tidak mampu merelakan kecuali dengan tawakkal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan : “Zuhud, adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud, Ruwaym menjawab, “Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab : “Zuhud adalah hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan sempurna zuhud seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa diserta keterikatan, berbicara tanpa disetai ambisi, dan kemudian tanpa adanya kekuasaan atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud kecuali dalam perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi seorang zahid sesuatu lebih daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang ia inginkan, Dia memberi hamba yang mustqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud adalah yang mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan keharuman minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia, hendaknya Anda membenci muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan aya dapat menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab : “Ketika Anda menjauhkan diri dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap memprioritaskan orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Qs. Al-Hasyr : 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang tidak ditentang oleh orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal-hal ini tidak terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Bilakah saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab : “Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda sebelum tiga hari tidak merasakan lemah. Tetapi apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak akan terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud adalah seorang raja yang tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata : “Barangssiapa berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan melepaskan kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksanaan di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia>” Ia menjawab : “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan  : “Ada tiga macam zuhud : Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum awam; Bersumpah menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam perkara yang halal adalah zuhud kaum terpilih (Khawash), dan bersumpah menjauhi apa pun yang memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum ‘Arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Salah seorang Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi : “Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini bagaikan pengantin wanita. Orang yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak-acak rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum ‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah swt. tidak sedikit pun menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, keculai zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan diri dan berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat-nikmat sementara, demi nikmat-nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud adalah memelihara darah kaum zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud menghabiskan isi dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan dirinya sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt. menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai kuncinya. Dia amenempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya.

7. D I A M

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab : “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan menangislah untuk dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’, perintah-perintah dan larangan-larangan harus dipatuhi di dalam sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk siffat para tokoh. Begitu pun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman : “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rakhmat.” (Qs. Al-A’raf :204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29). Allah swt. berfirman : “...... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaaha :108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata-kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini  :
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM.
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus pebuatannya secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh-Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu terhadap (seruan)mu?” Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah :109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y  berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutukan untuk menghadiri  majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan komentar berkenan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila berbicara menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda , berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya : “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan masa depan.” Dikatakannya pula : “Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia, siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu orang yang paling mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang masuk Islam. Lahir di Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau memerangi orang murtad dan membuka syria dan Irak), biasa engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau berbicara, dan bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab : “Sudah sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata : “Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang gyang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar pembicaraan itu. Shingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseoang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku : “Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di tempatmu!.”
Salah seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata : “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu.” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.” (Qs. Al-Hujurat :12).
Salah seorang Sufi berkata : “Diam adalah bahasa ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada yang mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat, akan menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu dua kali usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda didiamkan, maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang tubuh  yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata-kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan susah payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya).”

8. KHAUF


Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena takut kepada Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu seorang Ibu. Dan debu dari jalan Allah tidak akan pernah bercampur dengan asap api neraka pada batang hidung seorang hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Seandainya kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan. Apabila dalam seketika timbul rasa takut, maka ketakutan itu tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti takut pada hukum-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :175). Dia juga berfirman : “Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>” (Qs. An-Nahl :51). Juga firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.” (Qs. An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki berbagai tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya. Allah swt. berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah adalah salah satu syarat pengetahuan, karena Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya yagn takut kepada Allahdi antara hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs. Fathir :28). Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs. Ali Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar dari ambang pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi orang yang merasa takut (khasyyah) akan berlindung kepada Allah swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki arti yang sama, sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan jabadza. Jika seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia ditarik kepada hasratnya sendiri, seperti halnya para rahib (ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri. Tetapi jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada kebenaran hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa Anda berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata “seandainya” (‘asaa) dan “mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah yang takut akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah swt) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika Anda termasuk orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat mereka, sebab hanya orang-orang yang takut saja yang melihat orang yang takut.” Hanya Ibu yang kehilangan anaknya saja yang mau memandang kepada ibu-ibu yang berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak Adam. Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya pada kemiskinan, niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, tapi orang yang takut kepada Allah swt. akan lari kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya – ditanya, “Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi seorang hamba?” Ia menjawab : “Apabila ia mengibaratkan dirinya dalam keadaan sakit dan menghindari dari segala sesuatu yang dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak akan merasa tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan sampai ia melewati jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt. adalah raja yang hanya bersemayam di dalam hati seorang yang saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi oleh seorang yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah swt. dan hamba.” Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi maknanya ialah bahwa seorang yang takut menunggu-nunggu saat yang akan datang, sementara “anak-anak waktu kini” tidak punya harapan akan masa depan. Sedag keutamaan orang saleh adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah swt. (Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah orang yang lari dari Tuhannya  kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab : “Takut adalah datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’ lahir maupun batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan selama tiakut tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah hilang dari hati mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada perhiasannya, dan perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat Anda takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat Allah swt. adalah suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku pergi mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika melihatku, air matanya amengalir bercucuran. Lalu aku pun berkata kepadanya : “Semoga Allah mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia memprotes : “Anda pikir aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa yang ada di balik kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita paling pandai di bidang agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan paling dicintainya. Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan hadits, dibanding istri-istri Rusalullah yang lain). Yang bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca ayat) ‘dan orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh rasa takut (karena mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-Mu’minun : 60-1), apakah mereka itu orang-orang yang pernah mencuri dan berzina serta minum-minuman keras? Beliau menjawab : “Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan shalat dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal mereka itu tidak diterima. ‘Mereka adalah orang-orang yang bergegas pada kebajikan dan sangat berpacu (menuju kebajikan itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang menimbulkan rasa takut hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan muraqabah secara terus menerus, baik secara lahir maupun batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap dalam hati, maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan hasrat atas dunia akan terusir,” Dikatakan : “Takut adalah supramasi ilmu sesuai dengan hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan Allah swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu tidak dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila harapan telah melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian ia katakan : “Wahai Ahmad (muridnya), mereka naik melalui takut, dan jika mereka mengabaikan, mereka akan jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’) adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaan.” Ia pun berkata : “Jika Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan sesuatu selain Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuhpuluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keragguan. Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum pernah mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah, Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi :103-4).
Maka, betapa banyak orang yang akan merasa senang dengan keadaan mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya berbalik secara antagonis. Ketika itulah muqarabah dengan perbuatan keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. mendendangkan syair :
Engkau duga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir buruk yang bakal tiba
Malam-malam hari memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya,
Sesudah malam yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan sebuah kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh cita-cita spiritual. Kemudian salah seorang diantaranya pergi meninggalkan sahabatnya. Seiring perjalanan waktu yang cukup lama, tidak terdengar lagi kabar berita mengenainya. Sahabat yang ditinggal pergi itu kemudian ikut berperang bersama tentara Muslim memerangi balatentara Romawi. Dalam pertempuran itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi menyerang tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim maju ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim yang ketiga maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang Sufi ke depana dan keduanya lalu terlibat dalam pertempuran. Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu terlepas, dan ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang dulu telah menemaninya beribadah selama bertahun-tahun! Maka berserulah san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang dahulu bisa membaca Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah dari sikap perilakumu itu, bertobatlah!>”
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku, atau aku akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah kulakukan terhadap ketiga orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu jika kamu pergi saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang Sufi mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh ironis, setelah menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang cukup lama dan berat, orang itu akhirnya mati sebagai orang Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya, Jibril dan Mikail – semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka – tiba-tiba menangis cukup lama hinggal Allah swt berfirman kepada mereka : “Wahai kalian berdua, mengapa menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan kami, kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt. berfirman : “Nah, kalian berdua ternyata tidak bisa aman dari cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku melihat hidungku beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti ini, karena takut hidungku menghitam karena hukuman yang kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku benar-benar yakin bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan semua amal perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa Adam as. Di tempat yang begitu saleh! Jangan Jangan pula kamu tertipu oleh banyaknya amal ibadat. Sebab, setelah iblis melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung (Al-Ismul A’dzham), tapi lihatlah apa yag terjadi padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas perjumpaan dengannya.”
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari, Ibnul Mubarak melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri kepada Allah swt. kemarin. Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya ada seorang saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal karena kebobrokan akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar jauh dari mereka berdua, ia beseru kepada Allah swt. dengan penuh kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah aku!” Sedang si orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun mewahyukan kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang yang berdoa ini; telah Ku tolak doa orang yang saleh ini, dan telah Kuampuni sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada seorang yang alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda gila?” Ia menjawab : “Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya untuk waktu yang lama, aku menjadi gila karena takut terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini, dan lebih takut berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya diberitahukan kepada tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah orang yang hatinya telah tersobek karena rasa takut.” Tabib itu datang dan memeriksa denyut nadinya, lalu berkata : “Aku tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada manusia yang seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika akan terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah tergelincir dari tempat kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-kuningan karena ketakutannya terhadap tahapannya sendiri. Bagi orang yang beriman, saat menjelang keberangkatannya dari dunia ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi pucat karena ia takut akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika matahari terbit, ia bersinar cemerlang. Sama halnya dengan seorang beriman, ketika dibangkitkan dari kubur, ia muncul dengan wajah yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada Tuhanku swt. agar membukakan pintu takut. Dia membukakannya, dan aku pun lalu mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena itu aku beroda : “Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa takut sebatas yang bisa kumampui.” Kemudian ketenangan menghapus kekhawatiranku.”

9. ROJA’

 “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut :5).
Al-‘Ala’ bin Zaid menuturkan : “Amu menemui Malik bin Dinar dan menemukan Syahr bin Hausyab bersamanya. Ketika Syahr dan aku pergi meninggalkan Malik, aku berkata kepada Syahr : “Semoga Allah merahmatimu, berilah aku nasihat dan perkayalah jiwaku. Semoga Allah memberimu kekayaan!.” Ia menjawab. Dengan senang hati bibiku Ummu Darda’ menceritakan kepadaku melalui Abu Darda’, bahwa Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sanya malaikat Jibril as. Mengatakan : “Allah swt. berfirman : “Wahai hambaKu, selama engkau menyembahKu, berharap akan bertemu denganKu, dan tidak menyekutukan Aku, niscaya Aku akan mengampuni apa pun dosa yang tenegah engkau lakukan. Bahkan sekalipun engkau datang dengan membawa keburukan dan dosa sebesar bumi, Aku akan mengampunimu, dan tidak mempedulikan (berapa banyak dosa yang telah engkau lakukan).” (Hr. Thabrani).
Anas bin Malik mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, bahwasanya Allah swt. berfirman (dalam hadits Qudsi) :
Keluralah dari neraka, wahai kalian yang dalam hatinya masih terdapat iman walaupun sebesar biji gandum.” Kemudian Dia akan memerintahkan : “Aku bersumpah demi keagungan-Ku, bahwa perlakuan-Ku terhadap manusia yang beriman kepada-Ku walaupun sesaat saja di siang hari ataupun malam, tidak akan sama perlakuan-Ku terhadap orang yang tidak pernah beriman kepada-Ku.” (H.r. Bukhari – Muslim).
Harapan (Raja’) adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana halnya takut berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu, harapan berlaku bagi sesuatu yang diharapkan oleh seseorang akan terjadi. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan melenyapkan beban hati. Perbedaan antara harapan dan angan-angan (tamany) adalah bahwa angan-angan membuat seseorang menjadi malas. Orang yang hanya berangan-angan sesuatu tidak akan pernah berusaha untuk membulatkan tekad (untuk mencapai apa yang diangankannya). Hal yang sebalikya juga berlaku atas diri seseorang yang memiliki harapan. Harapan adalah sifat yang terpuji, tetapi angan-angan adalah sifat tercela.
Para Sufi telah berbicara banyak tentang harapan. Syah al-Kirmany berkata : “Tanda-tanda harapan adalah tat yang baik.”
Ibnu Khubaiq menjelaskan : Ada tiga macam harapan : Ada manusia yang melakukan amal baik; dengan harapan amal perbuatannya itu akan diterima oleh Allah swt. Ada lagi orang yang melakukan amal buruk, kemudian bertobat; harapannya adalah memperoleh pengampunan. Akhirnya ada orang yang tertipu diri sendiri, yang terus melakukan dosa, sambil berkata : “Aku berharap untuk memperoleh pengampunan.” Bagi orang yang tahu bahwa dirinya melakukan amal buruk, takut selayaknya lebih berkusa atas dirinya daripada harap.”
Dikatakan : “Harapan adalah mengandalkan kemurahan dari Yang Maha Pemurah dan Maha mencintai.”
Dikatakan pula : “Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan.”
Juga dikatakan : “Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan.”
Dikaakan pula : “Harap adalah kesenangan hati terhadap keutamaan tobat seseorang.”
Dikatakan juga : “Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah swt. Yang Maha Meliputi.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkomentar : “Takut dan harap adalah seperti sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang berfunsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan kemampuannya untuk terbang. Apabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlemepar ke jurang kematiannya.”
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ditanya : “Apakah tanda adanya harapan pada seorang hamba?” Ia menjawab : “Tandanya adalah manakala ia menerima nikmat anugerah (ihasan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan menuhnya rahmat Allah swt. di dunia ini dan penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Barangsiapa mendorong dirinya untuk berharap saja, maka ia akan terjerumus ke dalam kemalasan, dan barangsiapa mendorong dirinya kepada takut saja, maka ia akan terjerumus pada keputusasaan. Yang patut adalah, ada waktu untuk berharap dan ada waktu untuk takut; keduanya mempunyai tempatnya sendiri.”
Bakr bin Salim as-Sawwaf menuturkan : “Kami pergi mengunjungi Malik bin Anas pada petang hari menjelang kematiannya, kami bertanya : “Wahai Abu Abdullah, bagaimana keadaanmu? Ia menjawab : “Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan kepadamu selain ini : “Kamu akan melihat dengan mata kepalamu sendiri ampunan dari Allah swt. dalam ukuran yang melampaui khayalanmu.” Kami menungguinya sesudah itu sampai kami menutupkan matanya setelah ia meninggal dunia.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Harapan yang kutaruh kepada-Mu karena berbuat dosa nyaris lebih mengalahkan daripada harapanku kepada-Mu disertai amal. Ini disebebkan, manakala aku melakukan amal baik, aku mendapat diriku mengandalkan pada ketulusanku dalam melakukannya. Tapi bagaimana aku bisa menjaga amalku dari kekurangan, sedangkan aku adalah makhluk yang bersifat penuh kekuarangan?” Sebaliknya, manakala aku melakukan dosa, aku mendapati diriku mengandalkan ampunan-Mu. Bagaimana Engkau tidak akan mengampuni dosa-dosaku, sedangkan Engkau adalah Dzat Yanga Maha Pemurah?”
Beberapa orang sedang berbicara kepada Dzun Nuun al-Mishry saat menjelang ajalnya. Dzun Nuun mengajarkan kepada mereka : “Janganlah kalian memperdulikan aku, sebab aku telah terpesona oleh kelembutan Allah swt. kepada diriku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah untukku yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling sedap yang keluar dari lidahku berupa pujian kepada-Mu. Saat yang kuangap paling berharga adalah saat aku akan berjumpa dengan-Mu.”
Ditemukan dalam salah sati kitab tafsir bahwa Rasulullah saw. datag menemui para sahabat melalui pintu bani Syaibah. Beliau mendapati mereka sedang tertawa-tawa. Beliau lalu bersabda : “Apkah kalian tertawa-tawa?” Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Beliau lalu meninggalkan mereka, kemudian kembali lagi, seraya menyampaikan wahyu. Sabdanya : “Jibril turun membawa firman Allah swt. Beritahukanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hijr :49).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Allah swt. tertawa ketika hambahamba-Nya ditimpa keputus-asaan, sedangkan rahmatnya dekat dengan mereka.” Aisyah bertanya : “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita swt. benar-benar tertawa? Beliau menjawab : “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, Dia benar-benar tertawa.” Aisyah mengatakan : “Apakah Dia tidak akan menjauhkan kita dari kebaikan jika Dia tertawa.?”
Ketahuilah, bahwa tertawa adaah sifat yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah ungkapan kemurahn-Nya. Hal ini adalah sebagaimana perkataan : “Bumi menertawakan tanaman,” (yang berarti bumi mengeluarkannya). Tertawanya Allah pada keputus asaan manusia adalah tanda anugerah-Nya, sebagai tanda kelemahan penantian para makhluk kepada-Nya.
Dikatakan, ada seorang Majusi yang meminta kepada Ibrahim as. Agar diizinkan menginap di rumahnya. Ibrahim berkata kepadanya : “Kalau kamu masuk Islam, aku mau menjadikanmu sebagai tamuku.” Orang Majusi menjawab : “Jika aku memeluk Islam, bagaimana mungkin engkau akan berbuat kebajikan kepadaku?” Kemudian sang Majusi itu berlalu, lantas Allah swt. berfirman kepada Ibrahim : “Wahai Ibrahim, engkau tidak mau memberinya makan kecuali jika ia mau mengubah agamanya? Padahal Aku memberi makanan kepadanya selama tujuhpuluh tahun, sedang ia dalam kekafirannya. Jika engkau menerimanya satu malam saja, bagaimana dengan dirimu?” Mendengar itu Ibrahim lalu mengejar si orang Majusi itu dan mengundangnya menjadi tamunya. Ketika si orang Majusi itu bertanya kepada Nabi Ibrahim as. Mengapa berubah pikiran, beliau pun mengatakan kepada si Majusi apa yang didengarnya dari Allah swt. Si orang Majusi itu bertanya : “Beginikah cara Dia memperlakukan aku? Berikanlah Islam kepadaku!.” Lalu ia masuk Islam.
Saya mendengar Abu Bakr bin Aykib berkata : “Suatu malam aku bermimpi bertemu Abu Sahl as-Sha’luky, dengan keadaannya yang indah sekali. Aku bertanya : “Bagaimana Anda mendapatkan semuai ini?” Ia menjawab : “Dengan husnudzan-ku kepada Allah swt.”
Malik bin Dinar meriwayatkan sial mimpinya, bertemu dengan ash-Sha’luky : “Apa yang telah Allah beikan kepada Anda hingga seperti ini?” Ia menjawab : “Aku datag kepada Tuhanku swt. dengan dosa yang sangat banyak, namun Allah swt. menghapusnya lewat sangkaan baikku kepada-Nya.”
Diriwaytakan oleh Abu Huraitah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Aku adalah sebagaimana yang disangka oleh hamba-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku, Jika ia mengingat-Ku di tengah kumpulan orang banyak, maka Aku akan mengingatnya di tengah kumpulan yang lebih baik dari itu. Jika ia datang kepada-Ku sejarak satu jengkal, Aku akan mendatanginya sejarak satu hasta. Jika ia melangkah kepada-Ku satu hasta, Aku akan melangkah kepadanaya dua hasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (H.r. Bukhari).
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Ibnul Mubarak sedang bertempur melawan salah seorang tentara kafir (non Arab). Ketika tiba waktunya bagi si orang kafir itu untuk sembahyang, ia meminta waktu kepada Ibnul Mubarak. Ibnul Mubarak pun membiarkannya mengerjakan ibadatnya. Ketika tentara kafir itu sedang bersujud ke matahari, Ibnu Mubarak merasakan keinginan untuk menikamnya dengan pedangnya. Namun tiba-tiba Ibnul Mubarak mendengar sebuah suara di angkasa yang berseru : “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggung jawabannya.” (Qs. Al-Isra’ :34). Maka Ibnul Mubarak pun menyarungkan kembali pedangnya. Ketika si penyembah berhala selesai bersembahyang, ia bertanya kepada Ibnul Mubarak : “Mengapa Anda mengurungkan niat Anda?” Ibnul Mubarak mengatakan kepadanya tentang suara yang didengarnya. Si penyembah berhala berseru : “Betapa sempurnanya Tuhan Yang memarahi wali-Nya demi membela musuh-Nya!.” Lalu ia pun masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang sangat baik.”
Dikatakan : “Allah menjadikan manusia melakukan dosa ketika Dia menamakan Diri-Nya “Yang Maha Pengampun”.
Dikatakan : “Seandainya Allah berfirman : “Aku tidak akan mengampuni dosa; niscaya tidak seorang Muslim pun yang akan pernah berbuat dosa. Sebab ketika Dia berfirman : “Allah tidak akan mengampuni (manusia yang ) menyekutukannya.” (Qs. An-Nisa : 48). Kaum Muslimin lalu ingin sekali mendapatkan ampunan-Nya.”
Ibrahim bin Adham – semoga Allah merahmatinya – berkata : “Pada suatu ketika aku menunggu waktu luag dan tenangnya orang di sekitar Ka’bah. Saat itu adalah malam yang gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya. Akhirnya tempat itu pun sepi, aku lalu mulai melakukan thawaf, sambil bedoa : “Ya Allah, lindungilah aku dari dosa, lindungilah aku dari dosa!”. Lalu aku mendengar suara yang mengatakan : “Wahai Ibnu Adham, engkau meminta kepada-Ku untuk melindungimu dari dosa, sebagaimana doa orang –orang yang lain. Tapi jika Aku jadikan kamu semua tanpa dosa, lantas kepada siapa aku harus bersikap Maha Pengasih?”
Ketika Abul Abbas bin Suraij menderita sakit – yang akhirnya membawanya pada kematian – bermimpi bahwa hari Kebangkitan telah tiba. Allah Yang Maha Kuasa bertanyi mana para ulama itu?” Semua ulama, termasuk diriku, maju ke depan. Allah swt. bertanya : “Apakah yang telah kalian lakukan dengan ilmu yang telah kalian amalkan?” Kami semua menjawab : “Wahai Tuhan, kami telah ebrbuat llai dan kami telah berbuat jahat.” Maka Allah swt. pun mengulangi lagi pertanyaan-Nya seolah-olah Dia tidak menyukai jawaban yang telah kami berikan dan menghendaki jawaban yang lain. Maka aku pun maju dan menjawab : “Mengenai diriku, maka catatan dalam halaman lembaranku tidaklah mengandudng dosa menyekutukan sesuatu dengan-Mu dan Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan mengampuni semua Dosa selain itu.” Lalu Allah swt. berfirman : “Pergilah kamu semua. Aku telah mengampunimu!” Abul Abbas pun meninggal dunia tiga malam setelah mimpinya ini.
Pada suatu ketika ada seorang pemabuk yang mengumpulkan sekelompok para pemabuk temannya. Ia memberikan uang empat dirham kepada salah seorang budaknya dan menyuruhnya pergi membeli buah-buahan. Si budak pergi, dan ditengah jalan ia melewati majelis Manshur bin ‘Ammar, saat dimana yang disebut belakangan ii sedang meminta kepada orang banyak untuk memberikan sedekah kepada beberapa orang pengemis, dengan mengaakan : “Barangsiapa memberikan empat dirham, aku akan memanjatkan empat doa untuknya.”
Si Budak memberikan uang empat dirham yang dibawanya kepada Mansur, dan kemudian ia pun ditanya : “Doa apa yang engkau inginkan dariku.”
Si Budak menjawab : “Aku ingin bebas dari tuanku.” Manshur menodakan hal itu, lalu bertanya lagi : “Apa lagi?”
Si budak menjawab : “Aku ingin agar Allah memberiku ganti uang empat dirham itu.” Manshur mendoakan hal itu, dan bertanya kembali : “Apa lagi?”
Si Budak menjawab : “Aku ingin agar Allah mengampuni dosaku, dosa tuanku, dosamu dan dosa semua orang yang ada di rumah tuanku itu.” Manshur mendoakan hal itu. Si budak lalu pulang ke rumah tuannya.
Ketika tuannya bertanya kepadanya mengapa ia pulang terlambat, si budak menceritakan apa yang telah dilakukannya. Tuannya bertanya : “Dan doa apa saja yang kamu mintakan?”
Si budak menjawab : “Saya minta didoakan supaya bebas dari perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu telah kubebaskan. Dan apa permintaanmu yang kedua?”
Si budak menjawab : “Agar Allah memberi saya ganti uang empat dirham itu.” Tuannay berkata : “Ini, kuberi engkau uang empatribu dirham. Lalu, apa permintaanmu yang  keteiga?”
Si budak menjawab : “Agar Allah menyadarkan tuan untuk segera bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku bertobat kepada Allah swt. Apa permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan : “Agar Allah mengampuni Anda, saya, orang-orang yang ada di rumah ini, dan juga Manshur.” Si tuan berkata. “Ini adalah permintaan yang berada di luar kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si tuan tidur, ia bermimpi mendengar sebuah suara yang mengatakan : “Engkau telah melakukan apa yang berada dalam batas kemampuanmu. Apakah engkau mengira bahwa Aku tidak akan melakukan apa yang berada dalam kemampuan-Ku? Kuampuni dosamu, dosa budakmu itu, dosa Manshur bin ‘Ammar dan dosa semua orang yang berkumpul di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa kali. Suatu ketika ia berdiri (dekat Ka’bah) di bawah talang air dan berdoa : “Wahai Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah sekian dan sekian dari ibadat Hajiku kepada Rasulullah saw. sepuluh ibadat Haji bagi sepuluh orang sahabt beliau, dua iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan sisanya untuk semua kaum Muslimin.” Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa menyisakan satu pun bagi dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar suara bisikan yang mengatakan : “Inilah orang yang menunjukkan kemurahan hatinya kepada Kami! Aku ampuni dosamu, dosa kedua orang tuamu, dan dosa semua orang yang memeluk Islam.”
Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada suatu hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga orang laki-laki dan seorang wanita. Aku maju dan menggantikan si wanita. Kami terus berjalan menuju ke kuburan. Kami melaksanakan shalat untuk simayit, lalu menguburkannya. Setelah itu aku bertanya kepada si wanita : “Apa hubungan Anda dengan orang yang meninggal ini?” Ia menjawab : “Ia anakku.” Aku bertanya : “Apakah Anda tidak punya tetangga?” Ia menjawab : “Ya, tetapi mereka semua memandang hina anakku yang meninggal itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia seorang banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak ia ke rumahku dan kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Dalam tidurku malam itu, aku bermimpi melihat seseorang datang kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama. Ia berpakaian putih dan mengucapkan terima kasih  kepadaku. Ketika aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan : “Aku adalah si orang banci yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu Amr al-Bikandy sedang melewati sebuah jalan pada suatu hari, bersamaan itu pula menjumpai sekelompok orang beramai-ramai menyerukan pengusiran terhadap seorang pemuda dari lingkungan mereka karena perbuatan-perbuatannya yang tidak bermoral. Sementara tampak seorang wanita di tempat itu sedang menangis, konon adalah ibu sang pemuda. Abu Amr merasa kasihan kepadanya, lalu meminta kepada orang banyak itu agar mengampuni si pemuda. “Bebakanlah pemuda ini demi aku. Jika ia mengulang perbuatannya sekali lagi, maka lakukanlah apa yang kalian kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu melepaskan pemuda itu, dan Amr pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan itu lagi dan mendengar suara tangis wanita dari balik sebuah pintu. Abu Amr berkata dalam hati : “Barangkali si pemuda mengulangi lagi perbuatan odsanya, dan mereka telah mengusirnya dari lingkungan ini. Abu Amr lalu mengetuk pintu rumah si wanita dan bertanya apa yang telah terjadi pada si pemuda. “Ia meninggal!” jawabnya. Ketika Abu Amr bertanya kepadanya bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya, si ibu menjawab : “Menjelang sakaratul maut ia sempat mengatakan padaku. “Janganlah ibu memberi tahukan kepada pra tetangga kita tentang kematianku. Sebab, settelah mereka menderita karena aku, mereka akan senang atas kemalanganku dan tidak mau menghadiri pemakamanku. Jika Ibu menguburkanku, inilah cincinku yang tertulis Bismillah, pendamlah bersamaku. Jika selesai menguburkan diriku, pintalah syafaat dari Tuhanku buat diriku!” Aku melakukan seperti yang diwasiatkannya. Dan sepulang dari penguburannya, aku mendengar suaranya : “Pergilah Ibu! Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka bukan dengan tujuan agar Aku memperoleh manfaat dari mereka, tapi Kuciptakan mereka supaya mereka memperoleh keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy berkata : “Kami sedang duduk-duduk di tepi Sungai Tigris berssama Ma’ruf al-Karkhy ketika segerombolan pemuda melewati kami dengan sebuah perahu. Mereka memukul-mukul rebana, minum anggur dan bermain-main dengan penuh hura-hura. Kami bertanya kepda Ma’ruf, Tidakkah engkau lihat bagaimana mereka secara terrang-terangan bermaksiat kepada Allah swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia menghukum mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat tangannya dan berdoa : “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka bersenang-senang di dunia ini, jadikanlah mereka bersenang-senang di akhirat nanti!” Kami bertanya penasaran. Tapi kami memintamu untuk berdoa memohonkan hukuman bagi mereka!” Ia menjawab : “Jika Dia menjadidkan mereka bersenang-senang di akhirat, berarti Dia telah mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain bin Sa’id mengabarkan : “Bahwa Yahya bin Aktsam al-Qadhi adalah seorang sahabtku. Ia mencintaiku dan aku pun mencintainya. Setelah ia meninggal, aku ingin bertemu dengannya dalam mimpi agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag telah diperbuat Allah swt. terhadap dirinya. Suatu malam aku pun bermimpi bertemu dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia menjawab : “Allah telah mengampuni dosaku. Tetapi Dia memarahiku dengan kata-kata-Nya : “Wahai Yahya! Kau telah berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “ Aku menjawab : Itu memang benar, wahai Tuhanku. Aku mengandalkan sebuah hadits yang disampaikan kepadaku dengan riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Engkau telah berfirman : “Aku malu menghukum seseorang yang telah berambut putih di neraka.” Lalu Allah pun berfirman : “Aku mengampunimu wahai Yahya, dan benar Nabi-Ku itu. Tetapi engkau telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”
10. SEDIH
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga), “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kita.” (Qs. Fathir :34).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw.  bersabda :
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang beriman, apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa sakit yang merisaukan, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya.” (H.r. Ahmad, Bukhari – Muslim).
Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati tersesat di lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu sifat para ahli penempuh jalan ruhani (suluk).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang jarak yang tidak bisa ditempuh dalam waktu satu tahun oleh orang yang tidak memiliki kesedihan.”
Dalam Hadits dikatakan : “Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang sedih.”
Dalam Kitab Taurat disebutkan : “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menempatkan suatu PENYEDIH dalam hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan-Nya sebuah SERULING dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris mengatakan : “Sedih adalah raja, manakala bertahta dalam sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang lain tinggal bersamanya.”
Dikatakan : “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh manakala tidak ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi berkomentar : “Air mata kesedihan membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan pandangan, namun tidak membutakannya.” Allah swt. berfirman : “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif menjelaskan : “Sedih adalah mencegah diri dari bangkit mencari kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah mendengar seorang laki-laki meratap : “Aduhai kesedihan!” Rabi’ah menyela : “Katakanlah; Aduhai kecilnya kesedihan kita! Jika engkau benar-benar bersedih, niscaya engkau tidak akan bisa bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan : “Apabila ada seorang tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka Allah swt. akan mengasihani mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam hari ia akan berdoa : “Ilahi, kerinduanku terhadap-Mu membuat diriku gelisah dan menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan Allah pun menjawab : “Bagaimana mungkin bagi seorang yang penderitaanya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih menahan orang dari makan, sedangkan takut, menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Dengan apa kesedihan manusia dinilai?” Ia menjawab : Dengan banyaknya ratapan.”
As-Sary as-Saqathy berkata : “Aku ingin seandainya kesedihan seluruh manusia di muka bumi ini ditumpahkan kepadaku.” Banyak oang telah berbicara tentang kesedihan, dan mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan yang diilhami oleh kepedulian pada akhiratlah yang patut dipuji, sedang kesedihan karena dunia ini, patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu keutamaan dan peningkatan bagi seorang beriman, selama kesedihan itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak menghasilkan satu derajat khusus, ia akan membawakan pengampunan.”
Seorang Syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi melakukan perjalanan, ia akan berpesan : “Jika engkau melihat seorang yang sedang bersedih, sampaikan salamku padanya.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi bertanya kepada matahari selagi terbenam, “Apakah hari inni engkau telah menyinari sorang yang tertimpa kesedihan?”
Orang tidak pernha melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’ mengatakan, “Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”
Salah seorang dari kaum Muslimin geberasi salaf berkata : “Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman dalam catatan amal perbuatan baiknya adalah penderitaan dan kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar : “Kaum salaf mengatakan : “Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia menjawab : “Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan. Maka berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”


11.LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT

Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah :155).
Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena kesabaran mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman :
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka beikan itu).” (Qs. Al-Hasyr :9).
Anas bin Malik menuturkan  bahwa ketika Fatimah r.a. (Fatimah az-Zahra’ (18 s.H – 11 H/605 – 632 M). Putri Rasulullah saw. keturunan Bani Hasyim, suku Quraisy. Ibundanya Khadijah binti Khuwailid. Fatimah dinikahkan Ali bin Abu Thalib r.a. melahirkan Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum dan Zainab). Fatimah r.a. memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw. beliau bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah menjawab : “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak dapat tenang sebelum memberikan roti ini kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini adalah sepotong  makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari ini.” (Hadits ini diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah dalam Musnad-nya, melalui sanad yang dha’if, namun memiliki bukti kebajikan sanad dalam maknanya).
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum Suf dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk selangkah demi selngkah membiasakan berlapar-lapar menahan diri dari makan, dan mereka menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup banyak.
Ibnu Salim berkata : “Etika berlapar diri adalah bahwa seseorang terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya, kecuali sebesar telinga kucing (amat sedikit).” Dikatakan bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap limabelas hari. Manakala Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan : “Seandainya orang dapat membeli lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak akan perlu membeli sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ketika Allah swt. menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu makan dan minum, dan menepatkan kebijaksanaan dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Lapar bagi para penempuh jalan Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadah), sebuah cobaan bagi orang-orang yang berTaubat, dan siasat bagi para zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq menuturkan : “Seseorang datang menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh menangis, ia bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh menjawab : “Aku lapar.” Ia mencela, “Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?” Sang Syeikh balas mencela : “Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadidkan aku lapar adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukahllid mengabarkan : “Al-Hajjah bin Furafishah sedang berada bersama kami si Syam, dan selama lima puluh malam ia tidak minum air ataupun mengisi perut dengans esuap makanan pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke Mekkah – Semoga Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab : “Aku meninnggalkan Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dari Dzat Araq aku datang kepada kalian.” Jadi, ia menyebari padang itu dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap kali makan, ia menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby berkata : Orang yang mengabdi kepada Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empat puluh hari, dan orang yang mengabdi kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan setiap delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Kunci dunia ini adalah mengisi perut, dan kunci akhirat aalah lapar.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Bagaimana pendpat Anda tentang orang yang makan sekali sehari?” Dijawabnya : “Itulah makan orang beriman.” Bagaimana dengan yang makan tiga kali sehari?” Ia mencela : “Suruh saja orang membuat gentong makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar : Lapar adalah pelita, dan kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan padam sampai ia membakar pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj ath-Thausy menuturkan : “Seorang laki-laki dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit makanan. Lalu ia bertanya : “Sudah berapa lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh menjawab : “Lima hari.” Si Sufi berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang bakhil> Anda memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Bahwa meninggalkan sepotong daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada melakukan shalat sepanjang malam.”
Berkata Abul Qasim Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa hari Abul Khayr al-“Asqalany ingin sekali mengkonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan sampai ke tangannya melalui jalan yang halal. Tetapi ketika tangannya meraih ikan itu untuk dimakannya, lalu ia berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang yang halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang yang mengulurkan tangannya untuk sesuatu yang haram?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan : “Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-tiba salah seorang muridnya bermaksud mengambil makanan mendahului sang syeikh, karena laparnya. Salah seorang murid syeikh, yang ingin menegus atas ketidak sopanannya itu, meenpatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan pendisiplinan jiwanaya, serta sebagai tanda Taubat atas ketidak sopanannya itu. Padahal selama ini ia telah menderita kelaparan.”
Malik bin Dinar berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan syahwat dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan : “Jika seorang Sufi setelah lima hari tidak makan, mengatakan ‘aku lapar’ maka kirimlah ia ke pasar agar mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh syahwatnya atas kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela. Beliau juga berkata : “Seseorang bertanya kepada salah seorang syeikh : “Apakah Anda tidak enginginkan sesuatu?” Sang Syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan diri.”
Syeikh yang lain ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan inginkan?”
Jawabnya : “Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr datang kepadaku, dan aku berkata : “Segala Puji Bai Allah yang telah membawamu ke sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah sampai kepada kami; budak wanita telah menenunnya, menjualnya dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa berbuka puasa dengan kami. Ia menjawab : “ Jika aku mesti makan dengan seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu ia menjelaskan : “Telah bertahun-tahun aku ingin makan terung, tetapi aku belum ditakdirkan untuk memakannya. Lalu aku menjawab : “Ada terung yag halal dalam makanan ini.” Ia menjawab : “Bahkan sampai bersih dari bijinya.”
Saya mendengar Abu Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu Abdullah bin Khafi menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis untuk buka puasa setiap malam. Suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir kismis. Ia memandangku dan bertanya : “Siapa yang menyuruhmu (memberi lima belas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh butir dan membiarkan sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby berkomentar : “Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja : Aku ingin sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang gbangkit dan memegang tanganku sambil berkata : “Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu!” Lalu oang-orang itu memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang laki-aki di antara mereka mengenaliku dan menyela, Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!” Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan laki-laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata kepada diri sendiri : “Makanlah, seteelh tujuh puluh kali pukulan!.”

12.KHUSYU’ DAN TAWADHU’

Allag swt. berfiman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang khusyu dala shalatnya.” (Qs. Al-Mu’minun :-1-2).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barangsiapa yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berbapakain bagus?” Beliau menjawab : Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan; sombong adalah berpaling dari Al-Haq dan mencemooh manusia.” (H.r. Muslim).
Anas bin Malik mengabarkan : “Rasulullah saw. suka mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, mengendari keledai dan memenuhi undangan budak-budak.”
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bai nadhir, Rasul mengendari seekor keledai yang diberi tali kendali dari ijuk korma dan di atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’ adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.”
Hudzaifah berkata : “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama hilang dari agamamu.” Ketika salahs eorang Sufi ditanya tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : Setan tidak akan mendekati orang yang hatinya khusyu’. Dikatakan : “Di antara tanda-tanda kehusyu’an hati seorang hamba adalah manakala ia diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak, maka ia, semua itu diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah menahan mata dari melirik ke sana ke mari.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’ adalah begini : Jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam, asap dalam dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya, lalu hawa nafsunya mati, dan hatinya hidup khusyu’lah semua angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut yang terus menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany ditanya tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban.” Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman yaitu orang-orang yang bejalan di muka bumi dengan sikap rendah hati.” (Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawa dhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya. “Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini.” Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan di sini, sambil menunjuk bagunya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu bersabda :
“Jika hatinya khsyu, niscaya anggota badannya juga akan khusyu’.” (Hr. Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq berkata : “Khusyu’ mirip dengan perkataan, bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt.” Dikatakan “Khusyu’” adalah perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati manakala menyaksikan Allah swt.”
Dikatakan pula : “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala hati dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara tiba-tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegasskan, bahwa dirinya tidak senang melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku sendiri.”
Dikatakan : “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang lain tdak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Tidak akan masuk surga oang-orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata : “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt. menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as.” (Bukit Judy berada di sebelah timur laut Jazirah Ibnu Umar, Ketingginya dari permukaan laut 4.000 meter. Diriwayatkan bahwa perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini kertika terjadi banjir bandang).
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis, lalu datanglah seorang tamu. Meliaht lampu hampir padam, si tamu menawarkan diri : “Biarlah saya yang membesarkan nyalanya.” Tapi Umar menjawab : “Jangan, tidaklah ramah menjadidkan tamu sebagai pelayan.” Maka si tamu lalu berkata : “Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar menolak : “Jangan, ia baru saja pergi tidur.” Lalu beliau sendiri pergi ke tempat penyimpanan minyak dn mengisi lampu itu. Si tamu berseru : “Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahai Amirul Muminin?” Umar berkata kepadanya : “Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar pula.”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu memberi makan unta-unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah. Beliau tiak pernah merasa malu membawwa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu memberi salam jika bertemu. Nabi saw. tiak pernah mencela makanan apa yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa, sedih tapi tiak cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tetapi tidak boros. Rasulullah saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh berkata : “Para Umala dari Yang Maha Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia juga berkomentar : “Barangsiapa menganggap dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali.”
Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan : “Pasrahlah kepada kebenaran; patuh dan terimalah ia dari siap pun yang mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah swt. mewahyukan kepada gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan soerang Nabi di salah satu puncak di antaramu.” Maka, gunung-gunung itu lalu berlomba-lomba meninggikan diri dengan sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan dirinya dengan penuh kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara kepada Musa as, di puncka gunung ini, dikarenakan ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab : “Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah tertulis dalam salah satu kitab suci, “Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada hati Musa as. Maka Ku pilih ia dan Aku aku berbicara langsung dengannya.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Kesombongan terhadap orang kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.
 Au Yazid ditanya : “Bilakah seseorang mencapai sifat tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak pernah diiri dengki orang dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak pada sikap tawadhu’ dan orang yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di dalam sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan kemerdekaan di dalam qnaah.”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata : “Ada lima macam manusia termulia di dunia ini : Ulama yang zuhud, seorang faqih yang Sufi, seorang kaya yag rendah hati, seorang fakir yang bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti sunnah.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikan bagi setiap orang tetapi ia paling menjijikan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar : “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda, Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya. Maka Zaid lalu mencegahnya : “Jangan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas berkata : “Itulah yang diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami.” Maka, Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya, sambil berkata : “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair menuturkan : “Ketika aku melihat Umar bin Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku berkata kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda,” Beliau menjawab : “Ketika para delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu perasan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya. “ Beliau terrus memikul air an membawanya ke rumah seorang wnita Anshar dan mengisikannya ke dalam genthong milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu Hurairah r.a. menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya, danberteriak-teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Barangsiapa yang masih memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang yang bersikap sombong terhadapmu dikaernakan kekayaannya, adalah sikap tawashu’.
Seorang laki-laki datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah kepadanya : “Sipakah engkau?” Ia menjawab : “Wahai tuanku, sebuah titik di bawah (ba’).” Lalu laki-laki itu berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau mengangap rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’ adalah bahwa orang yang meminum sisa minuman yang ditinggalkan oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan : “Berilah salam kepada para pecinta dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka.”
Syu’aib bin Harba menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki-laki menyikutku, dan aku menoleh kepdanya. Ternyata orang itu adalah Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih, jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu itu.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku melihat seorang laki-laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang dikelilingi oleh orang-orang yang menjunjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu setelah itu, kau melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat di sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. IA lalu berkata kepadaku : “Aku dulu membanggakan diri di tempat di mana manusia-manusia mestinya merendahkan diri, maka Alalh swt. lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia berbangga diri”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa seorang budak dijual kepada seorang penguasa dengan seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya : “Apakah sifat-sifat itu?” Si budak menjawab : “Sifat yang paling kecil diantaranya adalah behwa seandainya tuan membeli saya dan kemudian menyayangi saya melebihi semua budak tuan a g lain, saya tidak akan keliru memandang posisi saya yang sesungguhnya; saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak tuanku.” Maka penguasa itu jadi membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar : “Ketika Umar bin Abdul Aziz sedang berkhitbah, kutaksir-taksir pakaian yang dikenakannya berharga sekitar duableas dirham saja, yang terdiri dari jubah luar, surban, celana , sepasang sandal, dan selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi” berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya : “Tahukan kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma tiga ratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan Kaum Muslimin. Lanatas, dengan orang tua yang semacam ini, engkau berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata : “Tawadhu’ adalah engkau tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di dalam hal Agama.”
Dikataka bahwa Abu Dzar dan Bilal – semoga Allah meridhai mereka berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw. yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada sifat Jahiliyah dalam hatimu.” Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliau pun turun dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan berkata : “Aku berhutang budi kepada mereka, sebab mereka tidak memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan aku memeperoleh keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan pakaian yang berasal dari pampasan perang kepada para sahabtnya. Beliau mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel tersebut dijual dan kemudian digunakan untuk membeli enam orang budak dan memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada pembagian bahan pakaian berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya bahan pakaian yang harganya lebih murah. Ketika Mu’adz memprotesnya, Umar bertanya : “Mengapa protes?” Engkau telah menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap menuntut, “Apa urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya, sebab saya telah bersumpah akan mengenakannya pada kepala Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku di depanmu. Barang yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang usang. Pula.”

13.MELAWAN HAWA NAFSU

Firman Allah swt.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” )Qs. An-Naazi’aat : 40-1).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin Abdullah al-Khazrajy al-Nashari as-Sulamy (16sH-78 H/607 -697) ikut berperang sebelas kali. Ia mempunyai majelis halaqah ilmiah di Masjid Nabawi. Meriwayatkan 1.540 Haditst). Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Hal yang paling kutakutkan kepada ummatku adalah mengumbar hawa nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa nafsu memalingkan manusia adari Al-Haq, sedang melamun panjang membuat orang lupa pada akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa melawan hawa nafsu adalah modal ibadat.” (H.r. Hakim dan Dailamy).
Ketika salah seorang Syeikh ditanya tentang Islam, ia menjawab : “Membabat nafsu dengan pisau perlawanan, Dan ketahuilah bahwa bagi seseorang yang nafsunya telah bangkit, maka pencerahan hati yang menyebabkan sukacita jiwanya di hadalapan Allah swt. akan hilang.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Kunci ibadat adalah tafakur. Tanda terrcapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan mninggalkan keinginan-keinginannya.”
Ibnu Atha’ berkta : “Nafsu itu dengan sendirinya cenderung pada perilaku yang jahat. Pada saat yang sama, si hamba diperintahkan agar bersabar di dalam beribadat. Jadi, hawa nafsu berperilaku sesuai dengan wataknya dengan cara menetang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan perjuangan melawan tuntutan-tuntutannya yang jahat.”
Al-Junayd berkomentar : “Nafsu amarah yang terus menerus mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh, pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan : “Barangsiapa tidak mencurigai diri sendiri dalam setiap waktu, tidak menetangnya dalam setiap keadaan ruhani, dan tidak memaksakan kepada diri sendiri apa yang tidak sesuai dalam hari-harinya, adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa memberikan perhatiankepada nafsu dan menyetujui sebagian darinya identik dengan menghancurkan diri sendiri. Bagaimana bisa membenarkan bagi orang yang memiliki akal untuk menyenangi diri sendiri? Sedangkan Yusuf a.s. yang mulia, putra dari keturunan yang mulia, Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim as. Berkata : “Aku tidak membersihkan diriku dari kesaahan; sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan.” (Qs. Yusuf : 53).
Al-Junayd menuturkan, : “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wirid. Tetpai aku tidak menemukan kemanisan atau kenikmatan yang bisanya kurasakan. Maka Aku menjadi bingung dan berharap untuk dapat tidur saja, tetapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela dan aku pergi ke luar. Klihat seorang laki-laki berselimutkan mantel sedang berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia mengangkat kepalanya dan berkata : “Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!” Aku menjawab : “Tuanku, tidak da ketentuan waktu.” Ia berkata : “Bahkan aku sudah memohon kepada si Pembangkit hati agar menggerakan hatimu kepadaku. “Aku berkata : “ Dia telah melakukannya. Jadi, apa kemauan anda ?” Aku menjawab : “ Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya menjadi obatnya.” Kemudian laki-laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya sendiri, :Dengar (hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al-Junayd, dan sekang engkau telah mendengarnya.” Kemudian ia berlalu meninggalkan aku. Aku tidak tau siapa dirinya dan tidak pernah bertemu dengannya lagi.”
Abu Bakr ath-Thamastany berkata : “Nikmat terbesar adalah jika engkau keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir terbesar antara dirimu dengan Allah, swt.”
Sahl bin Abdulllah mengatakan : “Tidak ada ibadat bagi Allah selain yang lebih utama dari menentang hawa nafsu.”
Ketika ditanya tentang perkara yang paling dibenci Allah swt. Ibnu Atha’ menjawab : “Memberikan perhatian kepada diri sendiri dengan segala keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan atas perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim al-Khawwa menuturkan : “Aku sedang berada di atas gunung al-Lakam, ketika aku melihat segerombolan pohon delima, timbul keinginanku untuk mencicipannya sebuah. Lalu aku naik ke atas memetik sebuah dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu aku melihat seorang glaki-laki terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku berkata kepadanya : “Assalamu’alaikum.” Ia menjawab : “Wa’alaikum salam, wahai Ibrahim.” Aku bertanya : “Bagaimana engkau mengenalku?” Ia menjawab : Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah swt. Aku berkata : “Kulihat engkau berada dalam keadaan bersama Allah swt.” Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?” Ia berkata : “Dan engkau, kulihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan delima?” Manusia akan mengalamai rasa sakit dari sengatan delima di akhirat, sementara sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia.” Aku pun pergi berlalu meninggalkan orang itu.”
Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan : “Selama empat puluh tahun aku tidak pernah bermalam satu kali  pun di bawah atap rumahku atau di tempat tertutup yang lain. Namun Terkadang  aku masih menginginkan agar bisa  makan ‘ada dengan kenyang. Sayang, keinginanku itu tidak pernah terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di Syam, seseorang menghidangkan semangkok penuh ‘adas kepadaku. Aku makan isinya dan kemudian berangkat. Di tengah jaan aku melihat botol-botol berisi semacam cairan, yang kukira adalah cuka. Di antara mereka menegurku : “Bagaimana pendapatmu?” Ini adalah botol-botol anggur, dan ini guci anggur!” Aku berkaa pada diri sendiri, “Adalah kewajibanku ....”Kemudian aku pun masuk ke dalam warung dan menumpahkan isi-isi botol serta guci-guci itu. Orang itu mengira bahwa  aku menumpahkan isi botol-botol itu  atas perintah Sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu hanya inisitaifku sendiri, ia lalu membawaku kepada Ibnu Thaulun yang memerintahkan agar aku didera duaratus kali dan dimasukan ke dalam penjara. Aku tinggal di penjara beberapa waktu lamanya sampai Abu Abdullah al Maghriby, guruku, datang ke negeri itu dan membebaskanku. Ketika melihatku, beliau bertanya : “Apa yang telah engkau perbuat?” Aku menjawab : “Satu perut yag penuh berisi ‘adas dan duaratus deraan!” Beliau berkata : “Engkau telah diselematkan dari segala tuduhan di akhirat.”
Dalam suatu riwyat  Sari as-SaqathY pernah menuturkan : “Selama tiga puluh tahun, nafsuku telah meminta kepadaku sepotong wortel yang dicelup dalam madu kurma, tetapi aku belum sempat memakannya!” Saya dengar Abu Abbas ala Baghdady menuturkan bahwa kakeknya pernah berkata : “Bencana seorang hamba adalah rasa pusnya terhadap keadaan dirinya.”
Isham bin Yusuf al-Balky menghadap kepada Hatim al-Asham, ia pun diterima. Seseorang bertanya : “Mengapa Anda menerimanya?” Hatim menjawab : “Dengan menerimanya aku merasakan rasa hinaku sekaligus merasakan kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya, aku merasa kebangganku sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku memilih kebanggaannya daripada kebangganku dan kehinaanku daripada kehinaannya.”
Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi : “Aku ingin melaksanakan ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid).” Sang Sufi menjawab : “Lebih tajridlah sifat alpa dari dalam hatimu, kekurang-seriusan dari dirimu, dan perkataan yang sia-sia dari lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja engkau mau.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Orang yang melewati malam harinya dengan cukup baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan orang yang melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balsan di malam harinya. Barangsiapa tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban memberi nafsu makanan. Allah swt. bersifat Maha Pemurah hingga tidak berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi Dia.”
Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. “Wahai Daud, peringatkanlah para sahabatnya  terhadap sikap menuruti hawa nafsu, sebab hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia tertutup dari-Ku.”
Dikatakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara, dan seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa melakukan hal ini?” Ia menjelaskan : Aku meninggalkan hawa nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan udara tunduk kepadaku.”
Dikatakan : “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu ditawarkan kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan meolaknya dengan rasa takut kepada Allah Swt. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu ditawarkan kepada seorang pndosa, pemenuhan itu akan mengusir darnya rasa takut kepada Allah swt.” Dikatakan juga, : “Janganlah engkau tempatkan kendalimu di tanag nafsu, sebab ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Hanya takut yang sangat atau kerinduan yang bergelora sajalah yang bisa memadamkan “NAFSU”.
Al-Khawwa berkata : “Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu, tapi tidak menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang pendusta dalam meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”
Ja’far bin Nashr mengabarkan : “Al-Junayd memberiku uang satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan menangis. : “Singkirkan buah-buah ini.” Pintanya> Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab : “Sebuah suara berseru dalam hatiku : “Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk-Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi!.”
Kaum Sufi bersyair :
Huruf Nun dari kehinaan (haan) dari hawa..
Telah dicuri.
Menyerah kepada hawa nafsu
Jatuh dalam kehinaan.

4.D E N G K I

Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah dari kejahatan makhluk-Nya.” Kemudian dia berfirman : “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai perlindungan dengan menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (H.r. Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Orang yang dengki adalah orang yang tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan takdir Allah Yang Maha Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt. : “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa : “perbuatan keji yang tersembunyi itu adalah dengki.”
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa : “Orang yang dengki adalah musuh nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan : “Aku melihat seorang Badui yang berumur seratus dua puluh tahun, dan aku berkata : “Alangkah panjangnya umur Anda!.” Ia menjawab : “Aku telah meninggalkan dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang tidak menempatkan dengki dalam hati pemimpinku sebagaimana yang telah ditempatkan-Nya dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu Hadits dikatakan : “Ada seorang malaikat di langit kelima yang amal perbuatan seseorang manusia melaluinya, dan ia bersinar kemilau seperti matahari. Malaikat itu memerintahkan : “Berhentilah karena kau adalah malaikat dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata : “Aku mampu menyenangkan semua orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah merasa puas dengan apa pun selain berhentinya kenikmatan bagi semua orang.”
Dikatakan : “Seorang pendengki adalah seorang yang paling zalim. Ia tidak membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz menegaskan : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki. Sebab ia senantiasa berada dalam keadaa sengssara dan nafas sesak.”
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda seorng pendengki adalah penjilat orang lain manakala orang itu berada di dekatnya, memfitnahnya manakala tidak berada di dekatnya, dan merasa senang apabila ada bencana yang menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata : “Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang lebih tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum orang yang didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra Daud, as. “Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara, “Janganlah engkau menggunjing dan mendengki salah seorang hamba-Ku yagn ssaleh!” Sulaiman menjawab : “”Tuhanku”, cukuplah perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Melihat seorang manusia di dekat “Arasy. Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau bertanya, “Apa amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia tidak pernah dengki terhadap manusia karena anugerah Allah swt. kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang pendengki menjadi bingung bila melihat adanya rahmat atas diri orang lain dan merasa senang jika melihat adanya kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika engkau ingin selamat dari seorang pendengki, sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula : “Seorang pendengki sangat marah terhadap manusia yang tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap yang tidak ia miliki.”
Dikatakan juga : “Waspadalah! Jangan sampai engkau mengharapkan untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia pasti tidak akan menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak memberikan kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal kasihan, terhadap salah seorang hamba-Nya, maka kekuasaan itu diberikan-Nya kepada pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah tentang seorang
Yang dikasihani oleh para pendengkinya.
Mereka juga membacakan syair berikut :
Semua permusuhan terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan dari orang
Ang melawanmu dengan rasa dengki.
Mereka juga membacakan syair :
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz mengatakan :
Katakan pada pendengki Ketika nafasnya terengah-engah,
“Hai si dzalim!.”

Sedang ia Seakan-akan orang yang ditindas.

1 komentar:

  1. Terimakasih sudah berbagi ilmu dan pengetahuan, semoga anda diberkati Allah SWT. Amin Ya Rabb

    BalasHapus