Jumat, 03 Juni 2016

LIMA NASEHAT SAYIDINA ALI

Syekh Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam kitab Hilyatul Auliya menuturkan bahwa Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: “Hafalkanlah lima hal dariku; yang seandainya kalian mengendarai onta untuk mencarinya, pasti onta itu sudah binasa sebelum kalian mendapatkannya; yaitu: 
1)   Janganlah seorang hamba mengharapkan selain kepada Rabb-nya.
2)   Janganlah ia merasa takut kecuali kepada dosanya sendiri.
3)   Jangan sampai orang bodoh merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui.
4)   Jangan sampai orang ‘alim merasa malu untuk mengatakan ‘Allah lebih tahu (wallahu a’lam)’ tatkala ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui. 
5)   dan kesabaran (bila dikaitkan dengan) iman adalah bagaikan kedudukan kepala dari tubuh, maka tidak ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki kesabaran.”
Pertama, Allah memerintahkan kita untuk bertawakal dan berserahdiri secara total kepada ketentuan Allah, percaya dan yakin dengan seyakin-yakinnya kepada janji dan jaminan-Nya. Kita memang diperintahkan oleh Allah untuk berusaha dan berkarya namun takdir dan kuasa-Nya yang menentukan. Imam Ali menasehatkan kita tentang sikap hidup zuhud kepada Allah, tidak bergantung kepada selain Allah dan tidak berharap kepada makhluk-Nya. Yunus bin Maisarah bin Halbas al-Jublani, berkata, “Kezuhudan di dunia itu bukan dengan mengharamkan yang halal, tidak pula dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi kezuhudan di dunia adalah jika kepercayaanmu kepada apa yang ada di tangan Allah lebih kuat dibanding kepercayaanmu kepada apa yang ada di tanganmu; jika keadaanmu ketika tertimpa musibah dan keadaanmu ketika tidak tertimpa adalah sama; dan jika orang yang mencelamu maupun menyanjungmu dalam kebenaran adalah sama.” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Kedua, Allah memerintahkan kita untuk ber-muhasabah atas apa yang telah kita lakukan, merenung dengan kesadaran batin atas amal dan dosa yang pernah kita perbuat. Tobat adalah kunci untuk menyucikan batin, memotivasi diri dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena, hanya dengan kesucian dan kebersihan jiwa seseorang bisa merasakan kehadiran Allah dan mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Melalui sikap penyesalan diharapkan kita mampu mengubah dan memperbaiki prilaku, serta berhijrah dari perbuatan buruk kepada perbuatan baik.
Ketiga, keangkuhan, kesombongan dan kekerdilan sikap manusia kadang menutupi kebodohannya sendiri. Padahal, ilmu sangat diperlukan untuk memahami hakikat hidup dan kehidupan. Malu bertanya, tak mau belajar, tidak menghargai ilmu dan sombong adalah hal yang sangat membutakan hati manusia. Agama tanpa ilmu dan pengetahuan menjadi buta, tanpa makna. Kemampuan akademik, ilmu pengetahuan, sains dan teknologi saja tak cukup, jika kita melupakan ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang wajib dikuasai oleh setiap Mukmin. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun kikir, suka berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu sama sekali urusan akhirat.” (HR Ibnu Hibban)
Keempat, meskipun manusia dibekali oleh akal dengan kecerdasan yang beragam, namun manusia tetaplah manusia. Ia hanyalah makhluk yang terbatas. Tak ada yang mutlak bagi manusia, semuanya nisbi. Ilmu manusia pasti terbatas, sementara ilmu Allah tak terbatas. Seorang alim harus menyadari kekurangan dirinya dan menyatakan kelemahan dan kekurangannya, serta berani menunjukkan bahwa hanya Allah yang Mahabenar. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Betapa sejuknya di hati, ketika saya ditanya tentang sesuatu yang saya sendiri tidak mempunyai ilmu tentangnya, kemudian saya katakan: Allahu a’lam.” Diriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar lalu bertanya kepada beliau tentang sesuatu hal. Beliau menjawab, “Saya tidak punya ilmunya.” Beliau kemudian berpaling setelah orang itu beranjak pergi, dan berkata, “(Inilah) sebaik-baik ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar! Ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, lalu ia menjawab: saya tidak punya ilmunya.” (HR Ad-Darimi)
Kelima, kesabaran adalah permata iman. Sabar memang menyakitkan namun efek darinya lebih manis dari madu. Rasulullah pernah ditanya, “Bagian manakah yang paling utama dari iman?” Beliau menjawab, “Kesabaran dan lapang dada.” (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah). Dalam kesabaran mengandung sikap berserahdiri, tawakal, takwa dan ridha kepada kehendak Allah, tak ikut campur dengan urusan Allah dan takdir-Nya. Kesabaran justru menjadi etos kerja, karena selalu bersifat husnudzan kepada Allah. Jadi, sabar bukan hanya nrimo atau menerima, tetapi gerak dan langkah menjemput berkah dan rahmat-Nya.
Semoga Allah memberi kesadaran ruhani kepada kita dan mampu mengambil hikmah dan ilmu dari lima nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar