Rabu, 01 Juni 2016

Puasa Ramadhan Ala Al-Ghazali dan Al-Qusyairi


 Tahukah anda bahwa puasa Ramadhan adalah ibadah yang sangat istimewa? Bukan saja karena Allah langsung yang menilai dan membalasnya, sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam sebuah hadits qudsi. Tetapi juga karena perintah puasa dalam Al-Quran adalah satu-satunya ayat perintah ibadah yang ditutup dengan kata la’allakum tattaqun, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.
Puasa Ramadhan adalah jalan pintas untuk mendongkrak kualitas ketaqwaan seorang muslim. Secara umum ia mempunyai tiga tingkatan : biasa, khusus (khas) dan sangat khusus (khashul khawash).
Puasa biasa, adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka waktu tertentu. Adapun puasa khusus, adalah menahan telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari perbuatan maksiat. Sedangkan puasa sangat khusus, adalah puasa hati. Maksudnya, menjaga hati dari lalai mengingat Allah SWT.
Puasa biasa adalah puasanya orang awam, atau muslim kebanyakan, yang ukurannya adalah fiqih. Jika telah syarat dan rukunnya telah ditetapi, puasa itu pun sah. Ini juga tidak salah. Karena memang standar keabsahan puasa yang digunakan ulama fiqih diukur dengan kapasitas orang awam yang sering lalai, mudah terperangkap dalam urusan duniawi.
Sebagaimana disebutkan dalam kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani ketika menerima surat dari langit. Dalam surat itu tertulis, “Sesungguhnya nafsu dan syahwat diciptakan hanya bagi hamba Allah yang lemah, agar bisa tertolong dalam melaksanakan ketaatan. Sedangkan hamba Allah yang kuat tidak sepatutnya lagi memiliki syahwat.”
Sedangkan puasa khusus apalagi khasul khawas yang lazim dilakoni orang-orang shalih, auliya dan para nabi tidak cukup hanya dengan memenuhi ketentuan fiqih. Puasa peringkat kedua mempertimbangkan faktor akhlak dan perilaku. Sedangkan pada peringkat ketiga ditambah dengan keistiqamahan mengontrol hati dan pikiran.
Orang-orang dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa bila hari-harinya hanya terisi dengan hal-hal yang mubah. Mereka juga merasa bersalah jika membuang energinya selama puasa untuk memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Berpuasa secara khusus, berarti melakoni beberapa fase latihan batiniah yang sangat penting bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sekaligus. Fase-fase tersebut dalam kajian tasawuf lazim disebut maqam atau maqamat.
Imam Abul Qasim Al-Qusyairi dalam Risalatul Qusyairiyyah membagi maqamat tasawuf ke dalam 45 bagian. Beberapa maqamat Al-Qusyairi yang terkandung dalam ibadah puasa antara lain mengosongkan perut, meninggalkan syahwat, mujahadah, sabar, syukur, ikhlas, jujur, istiqamah dan taqwa.
Panah Beracun
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, berpuasa khusus, harus menetapi enam persyaratan :
Pertama, tidak melihat segala yang dibenci Allah SWT atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Pandangan adalah salah satu panah beracun milik setan yang terkutuk. Barangsiapa menjaga pandangannya, karena takut kepada-Nya semata, niscaya Allah ta’ala akan memberinya keimanan yang manis yang diperolehnya dari dalam hati.” (HR. Al Hakim)
Jabir meriwayatkan dari Anas, Rasulullah SAW bersabda, “Ada lima hal yang membatalkan puasa seseorang: berdusta, mengumpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan memandang dengan penuh nafsu.”
Kedua, menjaga lisan dari perkataan sia-sia, dusta, umpatan, fitnah, perkataan keji serta kasar, dan kata-kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi). Dan menggantinya dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca al-Qur’an. Inilah puasa lisan.
Said Sufyan berkata, “Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, ‘Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong’.”
Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antara kalian sedang berpuasa, jangan berkata keji. Jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, ‘Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa!’.” (HR Bukhari Muslim).
Ketiga, menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela. Karena segala sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Dalam hukum Allah, mendengar yang haram sama dengan memakan yang haram. Firman Allah, “Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tidak halal.” QS Al-Maidah (5: 42).
Karena itu orang yang ingin puasanya bernilai khusus, sebaiknya berdiam diri dan mengjauhkan diri dari pengumpat. Allah berfirman, “Jika engkau tetap duduk bersama mereka, sungguh engkaupun seperti mereka …” QS An-Nisa’ (4: 140). Ini diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW, “Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa.” (HR At-Tirmidzi).
Keempat, menjaga kesucian setiap anggota badan dari yang syubhat, apalagi yang haram. Perut, misalnya, harus dijaga dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat). Puasa tidak berguna bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan yang halal, tapi berbuka dengan makanan haram.
Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga!” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Kelima, menghindari makan berlebihan. Tidak ada kantung yang lebih dibenci Allah SWT selain perut yang dijejali makanan halal. Di antara manfaat puasa adalh untuk mengalahkan syetan dan mengendalikan hawa nafsu. Bagaimana itu akan tercapai, bila saat berbuka perut dijejali secara berlebihan.
Hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang dipergunakan setan untuk mengajak umat manusia ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.
Harap-harap Cemas
Barangsiapa telah “meletakkan” kantung makanan di antara hati dan dadanya, lanjut Imam Ghazali, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meski perut kosong, belum tentu hijab yang terbentang antara dirinya dengan Allah akan terangkat, kecuali jika telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan mengingat kepada Allahc semata.
Keenam, menuju kepada Allah SWT dengan rasa takut dan pengharapan. Setelah berbuka puasa, seyogyanya hati terayun-ayun antara khauf (takut) dan raja’ (harap). Karena tidak ada seorang yang mengetahui, apakah puasanya diterima ataukah tidak. Tidak hanya puasa, pemikiran tersebut seharusnya juga selalu ada setiap kali selesai melaksanakan suatu ibadah.
Suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak.
Imam Hasan al-Bashri yang melihat hal itu lalu berkata, “Allah SWT telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana hamba-hamba-Nya berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah.
Sungguh menakjubkan aku mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya.”
Saat itu manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya kesempatan bergelak tawa.
Dari al-Ahnaf bin Qais, suatu ketika seseorang berkata kepadanya, “Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu.” Al-Ahnaf pun menjawab, “Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah SWT, tentu lebih mudah daripada menanggung siksa Nya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar