Minggu, 05 Juni 2016

TAKDIR MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Seorang hamba wajib menerima dengan ridha dan lapang dada terhadap urut takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, namun tidak boleh menjadikannya sebagai alasan untuk menyerah pada nasib dan tidak boleh pula menyalahkan takdir Allah. Sebab, kita juga diperintahkan untuk bekerja dan berusaha, selalu berprasangka baik kepada Allah dan selalu bertawakal dengan penuh keyakinan kepada-Nya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita, maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an,
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.”

--Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar; karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar